Mendiskusikan pendidikan di Indonesia, seketika kita diingatkan dengan perjuangan Ki Hajar Dewantara, yang hari lahirnya diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional di bulan Mei. Sosok yang telah memperjuangkan pendidikan sebagai sebuah modal besar untuk kemajuan bangsa, sekaligus sebagai senjata untuk menepis anggapan stigma kebodohan bagi rakyat Indonesia.
Namun demikian, benarkah pendidikan di Indonesia sudah berjalan seperti apa yang dicita-citakan sang pelopor? Sebelum mendiskusikan pendidikan bagi perempuan, penting juga bagi kita untuk menilik kesempatan belajar bagi perempuan, yang juga pernah dengan gigih diperjuangkan oleh Ibu Kartini.
Masyarakat kita seperti masih kental dengan stigma feodal yang menempatkan perempuan sebagai makhluk domestik. Tidak ada gunanya pendidikan tinggi bagi perempuan, karena toh mereka hanya akan diam di rumah setelah menikah.
Melanjutkan dan memiliki gelar akademik bagi perempuan, adalah pelengkap yang tidak akan memberi pengaruh apapun pada kemajuannya, karena tidak akan pernah berkaitan dengan tugas-tugas sebagai istri dan seorang ibu.
Pendapat tersebut memang tidak sepenuhnya dikatakan salah, jika kita memilih sudut pandang perempuan sebagai salah satu bagian dari keberlangsungan keluarga. Perannya sebagai istri dan ibu, memang tidak bisa tergantikan oleh siapapun, dan juga tidak memerlukan gelar pendidikan apapun.
Meski demikian, di saat yang sama perlu sejenak kita cermati beberapa fakta tentang pendidikan tinggi bagi perempuan. Banyaknya guru besar perempuan di perguruan-perguruan tinggi di Indonesia, adalah sinyal kecil bahwa tak sedikit perempuan yang melesat di bidang akademik.
Meskipun jumlahnya masih di bawah 5% dari keseluruhan dosen, namun kehadiran para perempuan pendidik yang berhasil menyentuh gelar tertinggi pendidikan tersebut, bisa dikatakan buah manis dari perjuangan Kartini pada masanya.
Kita tidak menampik bahwa tugas-tugas internal rumah tangga tetap tak boleh dilewatkan. Tapi, bukan berarti perempuan tidak boleh atau tidak mungkin menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Sangat disayangkan karena faktanya masih ditemukan perempuan yang hanya berhenti di sekolah menengah, atau bahkan putus sekolah karena berbagai faktor dan latar belakang.
Pendidikan bagi perempuan harus menjadi sudut pandang lain yang mendobrak stigma makhluk domestik. Justru karena perempuan akan menjadi seorang ibu, yang tidak lain adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya, maka pendidikan menjadi hal yang penting bagi seorang perempuan.
Ketika semua lapisan masyarakat sepakat bahwa dari perempuan lah akan lahir generasi bangsa, maka seharusnya di saat yang sama semuanya pun sepemahaman, bahwa pendidikan sangat diperlukan oleh perempuan sebagai modal agar bisa mendidik generasi penerusnya dengan baik.
Di era yang sudah sangat maju, dinamis, dan kompetitif, sangat wajib bagi siapapun termasuk perempuan untuk menjadi cerdas dan berpengetahuan luas. Menjadi sebuah keharusan bagi perempuan untuk mengembangkan diri, mengikuti perkembangan zaman, mandiri dan energik dalam menjalani berbagai aktivitas kehidupan.
Pendidikan pada jenjang apapun, janganlah dipandang sebagai kewajiban formal saja. Akan tetapi, ada manfaat untuk mengembangkan pola pikir seseorang, membentuk kemampuan berpikir kritis, yang akan mendorong perempuan mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Hal tersebut tentu bukan dalam konteks bersaing dengan kepala keluarga. Namun, semuanya tidak lain adalah persiapan untuk membentuk generasi bangsa yang prima.
Pendidikan tinggi bagi perempuan adalah pelengkap untuk mendidik generasi penerus agar menjadi lebih bernilai, kritis dan kompetitif. Dengan demikian, peran perempuan pun akan semakin lengkap dengan pendidikan tinggi yang dimiliki.