Dilanjutkan oleh Hegi Ardia dari Bawaslu Kabupaten Bandung yang menjelaskan perihal politik identitas. Praktik penggunaan politik identitas telah jamak terjadi di pemilu Indonesia melalui penggunaan isu berbasis suku, agama, ras, dan antar golongan oleh kandidat dalam mendapatkan suara.
Sebagai contoh kasus, tentu masih melekat di ingatan betapa brutalnya Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 yang sarat sentimen SARA hingga membelah masyarakat menjadi dua kubu yang berseteru bahkan hingga kini residu pertempuran politik identitas itu masih tersisa dan menyebar ke daerah-daerah lain.
Guna mencegah strategi kampanye politik berbalut agama kembali dimainkan, sedari jauh hari para pemuka agama diharapkan bersatu dan berkomitmen untuk bersama-sama mengawasi dan menjaga Pemilu 2024 mendatang terlaksana dengan damai, jujur, dan adil. Pemuka agama dan sentra ibadah kerap kali menjadi sasaran partai dan politisi untuk mengantongi suara umat, oleh karenanya perlu menjaga sikap supaya tetap netral dan memisahkan kepentingan dakwah dari campur tangan kampanye terselubung.
Memang sulit untuk mengkategorisasi sebuah dakwah keagamaan yang bermuatan kampanye politik halus, karena harus memenuhi syarat adanya penyampaian visi-misi, ajakan memilih calon atau partai tertentu, dan menampilkan citra partai yang eksplisit. Makanya, pemuka agama diharapkan dapat membantu mencerahkan umatnya agar menjadi partisipan pemilu yang cerdas dan berkesadaran.
Sebagai tindak lanjut dari diskusi ini, baik peserta, panitia, dan Bawaslu berkomitmen untuk aksi nyata yaitu mengadakan acara sosialisasi untuk penguatan pengawasan, dimana masing-masing organisasi keagamaan menginvetarisir jadwal kegiatannya. Tampil mengemuka dari PGPK dan MAKIN, keduanya menyodorkan program pendidikan politik yang dirancang bagi kalangan anggota internalnya.
Kedepan, baik PGPK dan MAKIN akan menggandeng Bawaslu dalam giat sosialisasi menjelang Pemilu. Sementara Fatayat NU sudah langganan menjadi penyelenggara kegiatan diskusi moderasi keagamaan lintas organisasi dan antar stakeholder akan lebih fokus dalam meningkatkan partisipasi perempuan sebagai pemilih yang terdidik. Guna meng-counter serangan black campaign di media sosial, masing-masing organisasi keagamaan yang hadir berjanji untuk memaksimalkan kekuatan para influencer dikomunitasnya untuk membantu penyebaran konten positif.
Lalu, bagaimana langkah Lajnah Imaillah memanfaatkan kesempatan ini untuk berkontribusi aktif sambil mempeluas jangkauan kebermanfaatannnya di masyarakat? Kita tunggu saja gebrakannya.
Kontributor: Amatul Shafi, Isyaat LI Bandung Kulon
Kontributor: Amatul Shafi, Isyaat LI Bandung