Official Website Organisasi Perempuan Muslim Ahmadiyah

Hafshah binti Umar ra – Sang Penjaga Alquran

hafshah

Hafshah dilahirkan pada tahun yang sangat terkenal dalam sejarah orang Quraisy. Kala itu, Rasullullah memindahkan Hajar Aswad ke tempatnya semula setelah Ka’bah dibangun kembali setelah roboh karena banjir.

Pada tahun yang sama, lahir juga putri bungsu Rasulullah saw yaitu Fatimah Az-Zahra. Beberapa hari setelahnya, lahir Hafshah binti Umar bin Khaththab. Nama lengkap dan nasabnya adalah Hafshah binti Umar bin Khaththab bin Naf’al bin Abdul-Uzza bin Riyah bin Abdullah bin Qurt bin Rajah bin Adi bin Luay dari suku Arab Adawiyah. Ibunya adalah Zaynab binti Madh’un bin Hubaib bin Wahab bin Hudzafah, saudara perempuan Utsman bin Madh’un.

Ketika dinikahi oleh Rasulullah saw, Ia adalah seorang janda dari Khunais bin Hudhafah al-Sahmiy. Khunais syahid ketika berjihad di jalan Allah SWT dalam Perang Badar.

Hadhrat Umar sangat terpukul melihat putrinya menjadi janda di usia yang sangat muda. Hatinya berniat untuk menikahkan Hafshah dengan seorang muslim yang saleh agar hatinya kembali tenang.

Hadhrat Umar pergi ke rumah Abu Bakar dan meminta kesediaannya untuk menikahi putrinya. Akan tetapi, Abu Bakar diam, tidak menjawab sedikit pun. Kemudian Umar menemui Utsman bin Affan dan meminta kesediaannya untuk menikahi putrinya. Akan tetapi, pada saat itu Utsman masih berada dalam kesedihan karena istrinya, Ruqayah binti Muhammad.

Menghadapi sikap dua sahabatnya, Umar sangat kecewa. Kemudian dia menemui Rasulullah saw untuk mengadukan kedua sahabatnya itu. Mendengarnya Rasulullah saw bersabda,

“Hafshah akan menikah dengan seseorang yang lebih baik daripada Utsman dan Abu Bakar. Utsman pun akan menikah dengan seseorang yang lebih baik daripada Hafshah.”

Karena kecerdasan akalnya, dia kemudian memahami bahwa Rasulullah saw akan meminang putrinya. Umar merasa sangat terhormat dan langsung menemui Abu Bakar untuk mengutarakan maksud Rasulullah saw.

Abu Bakar berkata, “Aku tidak bermaksud menolakmu dengan ucapanku tadi, karena aku tahu bahwa Rasulullah telah menyebut-nyebut nama Hafshah, namun aku tidak mungkin membuka rahasia dia kepadamu. Seandainya Rasulullah saw membiarkannya, tentu akulah yang akan menikahi Hafshah.” Umar baru memahami mengapa Abu Bakar menolak menikahi putrinya.

Sang Penjaga Alquran

Karya besar Hafshah bagi Islam adalah terkumpulnya Al-Qur’an di tangannya setelah mengalami penghapusan. Karena dialah satu-satunya istri Nabi yang pandai membaca dan menulis. Mushaf asli Al-Qur’an itu berada di rumah Hafshah hingga dia meninggal. Inilah mengapa, Hafshah diberi gelar sebagai “Penjaga Al-Quran”.

Pada masa khalifah Abu Bakar, para penghafal Al-Qur’an banyak yang gugur dalam peperangan Riddah (peperangan melawan kaum murtad). Kondisi seperti itu mendorong Umar bin Khaththab untuk mendesak Abu Bakar agar mengumpulkan Al-Qur’an yang tercecer. Abu bakar akhirnya memerintah Hafshah untuk mengumpulkan Al-Qur’an, sekaligus menyimpan dan memeliharanya.

Sebelum Umar bin Khattab mengenal Islam, ia merasa malu ketika Hafshah lahir karena terdapat mitos saat Arab jahiliyah bahwa anak perempuan adalah aib. Setelah masuk Islam, Umar bangga kepada anaknya yang menjadi penghafal Al Quran.

Berkat kasih sayangnya, Hafshah binti Umar tumbuh menjadi sosok yang kuat seperti ayahnya. Selain itu, ia memiliki kepribadian yang baik dan ucapan yang tegas.

Hadhrat Aisyah ra melukiskan bahwa sifat Hafshah sama dengan ayahnya. Kelebihan lain yang dimiliki Hafshah adalah kepandaiannya dalam membaca dan menulis, padahal ketika itu kemampuan tersebut belum lazim dimiliki oleh kaum perempuan. Sayyidah Hafshah disebut sebagai shawwamah atau wanita yang rajin berpuasa dan qawwamah atau wanita yang rajin melakukan salat malam. Qiyamullail dilakukan juga demi menjaga hafalannya.

Kecakapan Hafsah dalam menghafal Al Quran diteliti oleh sejarawan, seperti Ruqayya Y. Khan dalam jurnalnya berjudul “Did a Woman Edit the Qur’an? Hafsa’s Famed Codex”. Khan menjelaskan bahwa Hafsah binti Umar kemungkinan menjadi perempuan pertama yang menyimpan ayat-ayat Al Quran dalam bentuk teks tertulis.

Sejarah Kodifikasi AlQuran

Dalam salah satu hadits, pada masa khalifah Abu Bakar (632 M -634 M), ia dan sahabatnya, Umar bin Khattab mulai mengumpulkan ayat-ayat Al Quran menjadi dokumen tertulis karena banyaknya penghafal Al Quran yang gugur pada Perang Yamamah.

Pada masa itu, ayat Al Quran ditulis di atas tulang, kulit, dan papan. Agar Al Quran terus hidup, naskah tersebut disimpan oleh Abu Bakar, lalu Umar mengambil alih setelah sahabatnya wafat. Kemudian, tibalah giliran Hafsah yang menjaga Al Quran setelah ayahnya tiada.

Saat Hadhrat Utsman menjadi khalifah, ia dan tim khusus, salah satunya Zaid bin Tsabit, ingin memodifikasi Al Quran menjadi mushaf seutuhnya dengan lembaran-lembaran yang menyatu dan rapi.

Hadhrat Utsman berusaha mengirim utusan kepada Hafsah binti Umar untuk meminta dokumen ayat-ayat Al Quran. Hadhrat Hafsah mengizinkan dengan syarat Utsman mengembalikan dokumen asli saat ayat sudah selesai disalin.

Hafsah binti Umar wafat pada usia 63 tahun pada tahun 41 hijriyah atau 665 M. Ia dimakamkan di Baqi’ dan sebelum wafat, ia sedekahkan harta yang masih tersisa. Sayangnya, dokumen asli mushaf yang dijaga Hafsah selama hidupnya dihancurkan oleh Marwah bin Hakam, Gubernur Madinah pada saat itu.

Ketegasan dan dedikasinya dalam menjaga Al-Quran patut diteledani. Hafsah binti Umar bisa menjadi sosok yang inspiratif berkat lingkungan yang mendukungnya untuk bangga terhadap Al Quran. Perjuangan Hafsah menghafal dan menjaga kalam ilahi semata-mata untuk generasi Islam di masa mendatang.

LI Indonesia Update