Indonesia – Awal Desember 2024 seharusnya menjadi momen hebat bagi Jemaat Indonesia. Jalsah Salanah Nasional di satu titik, yang hampir 20 tahun tidak bisa terlaksana, hampir menjadi nyata. Sayangnya, penentangan terjadi sebelum acara sempat dibuka.
Duka ini pasti dirasakan oleh semua. Bukan hanya tempat penyelenggara. Tidak juga terbatas pada panitia saja. Ada rasa haru yang tak tertahan ketika ucapan duka dan dukungan semangat juga saya terima dari rekan-rekan lintas keyakinan.
Tayangan berita dan konferensi media juga menggambarkan betapa dukungan mengalir sangat kuat. Tidak ada rasa gentar ketika mengritik pejabat atau aparat. Jalsah Salanah, meskipun kegiatan internal, tapi pelarangannya mereka tempatkan sebagai tindakan mencederai keberagaman.
Tak sedikit yang bersuara soal diskriminasi dan matinya toleransi. Kebijakan pemerintah daerah yang dinilai sepihak tak luput dari kecaman. Beragam foto dan video penelantaran peserta Jalsah Salanah menjadi alasan amukan dan teriakan pelanggaran HAM.
Luar biasa. Ternyata ini duka Indonesia. Pembatalan acara ini sudah bukan lagi kisah sedih milik organisasi. Tidak ada yang perlu dipuji atau dikasihani di sini. Mulai dari ketua panitia sampai peserta, pengurus dan anggota, pejabat hingga rakyat jelata, semua sama.
Jalsah Salanah: Perayaan Kerukunan Penuh Berkah
Manislor bukan tempat yang dekat jika harus dijangkau dari Sumatera atau Papua. Namun ketika saya tiba di sana, terdengar sudah ada beberapa peserta yang tiba dari luar pulau Jawa. Seorang Ibu dari Padang bercerita dengan lantang, “Saya sedang ‘nggak enak badan tapi saya paksakan berangkat, Nak. Sampai sini saya sehat! Mungkin saya sakit karena sudah rindu Jalsah.”
Seketika saya bingung dengan perasaan sendiri. Tersenyum seperti orang bahagia, tapi air mata menetes juga.
Rumah tempat saya menginap juga bukan singgahan mewah. Sederhana, tapi pengkhidmatan tuan rumah terasa sampai ke hati. Seduhan kopi hitam dan keripik singkong menemani obrolan santai kami. Ekor mata saya melirik beberapa kantong persediaan sembako. Semuanya, sengaja dipersiapkan untuk mengkhidmati tamu.
Habis segelas kopi saya pamit hendak berkeliling ke rumah-rumah yang lain.
Terlihat sebuah rumah dengan bangunan yang terlihat baru. Persembahan yang luar biasa. Rupanya sang pemilik rumah seketika melakukan renovasi agar tamu Jalsah bisa nyaman ketika menginap.
Menyusuri beberapa belokan, saya selalu menangkap senyuman. Bukan hanya Ahmadi, tetapi juga warga lokal yang menyapa ramah dan sopan. Penjual jamu, pedagang sayur, penjaja makanan.
“Assalaamualaikum. Wilujeng sumping, Neng. Semoga besok cuacanya cerah, ya,” sapa ramah seorang pedagang yang saya lewati warungnya.
Allah Karim, Dia telah memberikan kebaikan dan kehormatan untuk tempat ini. Tuhan telah melimpahkan kemurahan tak terbatas, hingga dampaknya terpancar berupa kerukunan yang menghangatkan hati para pendatang.
Kami Dengar, Kami Taat
Meski sudah tersiar beberapa berita, tapi suntikan semangat dari pimpinan membuat kami kembali tegak. “Jalsah tetap berjalan Insya Allah.”
Maka, kami datang, karena kami yakin pimpinan kami tidak mungkin asal bertindak, bukan? Kami percaya, dan yakin sepenuhnya, semua sudah melakukan yang terbaik, penuh pertimbangan, taat pada imam dan patuh pada semua aturan. (Next page)