Namun sayang, suasana berubah mencekam di sore hari menjelang malam. Mulai terlihat kedatangan polisi, satpol PP, juga beberapa masyarakat mewakili ormas. Sekelebat teringat pada spanduk-spanduk provokatif yang terbentang di beberapa titik jalan.
Sebagian tertahan meski tinggal 100 meter dari lokasi. Sebagian lagi baru saja mendarat setelah menempuh perjalanan laut dan udara, yang artinya sangat tidak mungkin untuk kembali saat itu juga. Sangat disayangkan, karena tak sedikit yang terpaksa beristirahat di tempat seadanya. Terminal, stasiun, hingga trotoar jalan.
Parahnya, mereka yang terpaksa menyewa penginapan juga terkena sweeping. Mereka diminta keluar saat itu juga, tanpa peduli hari yang sudah malam, cuaca hujan dan moda transportasi yang tidak sewaktu-waktu ada.
Mereka datang bukan hanya membawa badan. Tetapi ada juga bayi dan anak-anak di pangkuan. Anak-anak menangis. Para ibu berusaha menenangkan meski dengan perasaan yang sama kalutnya. Harus ke mana malam-malam begini?
Kekecewaan bukan hanya dirasakan oleh anggota yang gagal hadir. Warga lokal yang semula ingin ikut mengais rezeki di area jalsah pun sama sedihnya. Seorang pedagang yang saya temui di Jumat pagi sedikit berkisah miris, “Saya sudah kulakan peuyeum ketan hampir 5 juta, Teh. Mau ikut jualan karena pasti rame.”
Cerita lain soal barang dagangan juga saya dengar dari salah satu peserta bazaar yang membawa madu dan meledak sehingga tidak bisa lagi dijual. Belum lagi makanan yang tak mungkin tahan berhari-hari. Semua terpaksa berjualan di tempat-tempat mereka tertahan.
Namun sekali lagi, semua itu bukan alasan untuk kembali pulang. Meskipun massa semakin bertambah, memblokade jalan dan berdatangan hingga dini hari, itu bukanlah alasan untuk takut. Hanya karena kami yakin ada keberkahan dalam keitaatan, maka malam itu, kami berhenti dan kembali karena taat.
Sejauh Mana Kita (Merasa) Benar?
Kejadian serupa ini pasti membuat siapapun jengah. Namun, tetap saja ini bukan waktunya mencari-cari siapa yang benar dan salah. Seorang filsuf pernah berkata, “Kebenaran adalah kenyataan, tapi kenyataan yang terjadi bisa saja berbentuk ketidakbenaran.”
Marah sebagai luapan emosi adalah hal yang wajar. Pasti sedih sekali karena pembatalan acara ini melibatkan pihak lain di luar organisasi. Ada ancaman yang membuat pembatalan akhirnya harus terjadi. Namun seketika marilah berpikir, dan juga berharap, semoga semuanya sudah benar-benar dilakukan dengan benar.
Lebih bijak untuk tidak menggarisbawahi hitungan kerugian. Ini bukan soal uang miliaran, melainkan ada kepercayaan yang sedikitnya harus kembali direnungkan. Seperti halnya ketika kita meyakini sebuah ayat tentang ujian keimanan, lalu apakah serta merta kita boleh mengklaim, bahwa semua kejadian buruk adalah karena kita sudah benar-benar beriman?
Mana yang lebih penting, merasa benar atau menjadi benar?
Selalu ada waktu untuk memperbaiki diri. Sebagaimana Hadhrat Khalifah ke-IV (rh) pernah menyampaikan ketika berkunjung ke Indonesia, “Perbaiki kelemahan diri, agar tidak meluas menjadi kelemahan nasional.”