Desember 2024. Pengalaman dari Desa Manislor. Pergulatan batin antara menjadi panitia Jalsah Salanah atau tuan rumah live in Community Development mahasiswa di Manislor. Ternyata, takdir membawa pada jalan tabligh.
Beberapa bulan persiapan Jalsah Salanah, saya ditugaskan menjadi panitia penerimaan tamu Jalsah Nasional. Saya siap karena tahun ini ingin sekali meniatkan hati untuk sepenuhnya berkhidmat di jemaat. Dengan izin suami, saya kuatkan tekad untuk menerima apapun tugas di lapangan nanti.
Namun, satu bulan berikutnya saya mendapat amanah terpilih menjadi salah satu mitra dari pendampingan UMKM kegiatan KKN atau Community Development mahasiswa dari Universitas Prasetiya Mulya Tangerang. Tepat dibulan yang sama dengan kegiatan Jalsah Salanah. Campur aduk perasaan saya. Apakah harus memilih menjadi panitia jalsah atau sebagai tuan rumah bagi mahasiswa? Pertanyaan itu terus memenuhi pikiran saya.
Dengan berbagai pertimbangan, saya memilih menerima mahasiswa yang nantinya kegiatan mereka berlangsung selama 20 hari secara live in di rumah kami. Dengan niat, ingin mengajak dan melibatkan mereka dalam kegiatan Jalsah Salanah sebagai sarana tabligh.
Selasa, 03 Desember
Hari pertama, 8 orang mahasiswa datang dari Tangerang. 1 orang diantara mereka adalah muslim, dan 7 orang lainnya dari beragam latar agama dan kepercayaan. Semua berjalan lancar, membangun perbincangan, kami sebagai tuan rumah menyampaikan bahwa di Manislor sedang mempersiapkan kegiatan akbar yang dilaksanakan Jemaat Muslim Ahmadiyah. Diskusi mengalir, apa Ahmadiyah dan bagaimana kami menghormati toleransi. Mendengar penjelasan kami, mereka terlihat antusias dan mengerti.
Kamis 05 Desember pukul 21.00
Malam hari di tengah hujan, saat blokade jalan menutup seluruh akses pintu masuk menuju atau keluar desa, tiba-tiba telepon berdering. Terlihat nama panggilan masuk, ternyata salah satu pembimbing mahasiswa yang menghubungi. Saya tidak kaget, dalam hati saya berfikir bahwa beliau pasti akan menanyakan beberapa hal terkait kegiatan Jalsah Salanah yang mendadak viral dalam hitungan jam. Saya angkat telepon, dan benar saja, pembimbing menanyakan alasan blokade jalan karena ada kelompok mahasiswa dari Desa Peusing yang akan keluar Manislor tidak bisa diberi akses jalan.
Mendengar itu, beliau jadi teringat juga dengan mahasiswa yang ada di rumah saya. Memastikan keamanan dan keselamatan mereka. Singkat cerita, beliau bertanya soal agama Ahmadiyah dan konflik yang terjadi tahun 2010. Saya hanya menyimak, hingga ada jeda, saya masuk dalam pembicaraan. Pelan-pelan saya ceritakan penyebab terjadinya kronologi di tahun 2010 yang saya ketahui, lalu meluruskan pemahaman beliau tentang Ahmadiyah. Dan saya memastikan bahwa mahasiswa akan tetap aman dan nyaman. Menutup pembicaraan, beliau mempercayakan keadaan mahasiswa kepada kami.
Kamis 05 Desember, Pukul 22.00.
Telepon kembali berdering. Kali ini saya dengar cukup panik, rombongan dari pembimbing mahasiswa sudah sampai di balai desa Manislor. Merek tidak diberi akses masuk oleh polisi. Mereka kebingungan dan meyakinkan polisi bahwa mereka dari Universitas bukan jemaah yang akan hadir dalam kegiatan. Awalnya sangat sulit masuk kesini, lalu saya beri saran untuk bilang “mau ke pak Sahroni” (sebutkan nama suami saya ) baru mereka bisa masuk. Alhamdulillah.
Malam panjang yang dingin dalam rintikan air hujan yang mulai mereda, tanah masih basah dan pintu rumah terbuka lebar menyambut 7 orang perwakilan dari Universitas Prasetiya Mulya tiba di rumah. Niat baik mereka datang untuk tabbayun, mendengar dari pihak kami sebagai anggota Ahmadiyah langsung. Mereka tidak ingin ada kesalahpahaman tentang Jemaat. Saya berusaha untuk tidak gentar menghadapi situasi malam itu, walaupun bibir masih gemetar karena dingin dan pilunya hati karena keadaan.