Official Website Organisasi Perempuan Muslim Ahmadiyah

Bersandar kepada Allah: Teladan Rasulullah saw dan Menggali Makna Qurub Ilahi

Manusia, sekuat apa pun dia, tetaplah makhluk yang butuh tempat bergantung. Kita butuh udara untuk bernapas, butuh makanan untuk bertahan, dan butuh orang lain untuk berbagi. Tetapi lebih dari itu, kita butuh Tuhan. Seperti akar yang mencari air agar pohon tetap hidup, hati manusia pun selalu mencari sandaran agar tetap kuat.

Bayangkan seorang anak kecil yang baru belajar berjalan. Dia mungkin bisa berdiri sejenak, melangkah beberapa kali. Namun tanpa pegangan, dia akan jatuh. Begitulah kecilnya kita di hadapan Tuhan. Kita bisa berusaha, kita bisa berlari mengejar impian. Tetapi tanpa pertolongan-Nya, semua mustahil tercapai. Kita akan mudah goyah, kehilangan arah, dan jatuh dalam kelelahan.

Mendekat kepada Tuhan (qurub ilahi) bukan hanya soal ibadah atau doa, tetapi tentang menyadari bahwa kita tidak perlu berjalan sendirian, sekaigus yakin bahwa kita tidak akan pernah sendirian.

Jebakan Ilusi Kesalehan
Rasulullah saw adalah manusia pilihan, utusan yang telah dijanjikan kemenangan dan kedudukan mulia oleh Allah Ta’ala. Namun ternyata, untuk menuju perbaikan akhlak pun beliau tetap memohon pertolongan Allah Taala.

Beliau bukan hanya seorang pemimpin yang adil, tetapi juga seorang hamba yang paling dekat dengan Allah. Namun demikian, beliau saw tetap memohon pertolongan Allah agar tetap istiqamah di jalan yang lurus, dan agar dijauhkan dari segala bentuk keburukan. Hal ini menunjukkan bahwa bahkan manusia yang paling sempurna pun masih merasa membutuhkan pertolongan Tuhannya.

Sikap ini memberikan pelajaran berharga bagi kita bahwa perbaikan diri bukanlah sesuatu yang bisa dicapai hanya dengan usaha sendiri. Hati manusia mudah berbolak-balik, dan akhlak yang baik pun tidak bisa dipertahankan tanpa izin dan rahmat dari Allah.
Rasulullah saw. mengajarkan bahwa kesalehan bukanlah pencapaian yang membuat seseorang merasa aman dari keburukan, tetapi justru sesuatu yang harus terus diperjuangkan dengan ketulusan dan tawakal kepada Allah.

Namun, di zaman ini, sering kali kita melihat manusia terjebak dalam ilusi kesalehan. Seseorang merasa telah cukup baik karena rajin ke masjid, lalu menganggap dirinya lebih religius dari orang lain. Seketika, dengan mudah bisa menghakimi orang lain dengan berdalil.
Dari perasaan ini, perlahan muncul kecenderungan untuk membandingkan diri dengan sesama, seolah-olah kesalehan adalah perlombaan yang harus dimenangkan. Padahal, sejatinya, keimanan adalah perjalanan yang penuh ujian dan membutuhkan keikhlasan serta pengakuan akan kelemahan diri di hadapan Allah.

Tanpa disadari, rasa cukup terhadap ibadahnya sendiri membuat seseorang merasa berhak menghakimi mereka yang mungkin masih berjuang dalam perjalanannya mendekat kepada Allah langsung dinilai kurang baik hanya karena tidak memenuhi standar tertentu yang telah ia tetapkan dalam pikirannya.
Kesalehan pun bergeser dari sesuatu yang seharusnya menjadi jalan menuju qurub ilahi—kedekatan sejati dengan Allah—menjadi alat untuk menilai dan menempatkan diri lebih tinggi dari orang lain. Ini adalah jebakan halus yang bisa mengikis ketulusan dalam beribadah, karena fokusnya bukan lagi mendekat kepada Allah, tetapi mendapatkan validasi dari manusia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

LI Indonesia Update