Official Website Organisasi Perempuan Muslim Ahmadiyah

Merenungkan Surat-Surat Kartini, Menemukan Pentingnya Terjemahan Kalam Ilahi

Penulis: Rahma Roshadi

“Bagaimana aku dapat mencintai agamaku jika aku tidak mengerti dan tidak boleh memahaminya?”
Secarik kalimat itu terbaca dalam surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar, tertangggal 6 November 1899. Bukan tanpa alasan, di dalam suratnya sebenarnya Kartini  hendak bercerita tentang Islam, agamanya, tapi ia tak tahu mulai dari mana. [1]
Dalam perjalanannya bercerita, dan juga beragama, bahasa tampak menjadi halangan. Hal ini membuat Kartini sangat rindu pada jalan kebenaran yang sesungguhnya. Kartini, ingin secara sadar beribadah secara Islam sebagai keyakinan, bukan sekadar agama warisan.
Dalam surat lain pada 15 Agustus 1902 yang ia tujukan untuk Ny. Abendanon, Kartini menulis lebih getir.
“Aku tidak mau lagi membaca Al-Qur’an, menghafal kata-kata dalam bahasa asing yang tidak aku pahami.”
Berangkat dari pertanyaan-pertanyaan Kartini di dalam surat-suratnya, kita sejenak melihat bahwa bahasa bisa menjadi penghalang seseorang untuk menemukan Tuhannya.
Bahasa sebagai Jembatan Hikmah
Apa yang dirasakan Kartini tentu sangat manusiawi. Ketika bahasa terasa asing, maka bukan hanya teks yang terasa jauh, tetapi hikmah juga akan sulit direngkuh. Keterbatasan bahasa adalah dinding tak kasat mata yang memisahkan seorang hamba dari Tuhannya.
Seseorang bisa saja membaca, bahkan menghafal kitab suci. Namun tanpa memahami, hatinya tetap akan asing. Jika demikian, bagaimana ia akan mengamalkan ajaran Tuhan dengan benar? Maka dalam kondisi ini, agama hanya akan menjadi ritual yang kering. Ia hanya dijalani, tanpa menggugah ruh.
Pemikiran kritis ini membawa Kartini kepada sebuah keinginan yang ia sampaikan kepada Sang Guru, KH. Sholeh Darat. Ketika itu ia sedang menyampaikan tafsir Surat Alfatihah. Kartini mengatakan betapa ayat-ayat ini indah tapi mengapa tidak pernah ada yang menyampaikan terjemahannya?
Pertanyaan itu bukan sebatas keinginan untuk menerjemahkan Alquran. Tapi sejatinya ia sedang bicara tentang sebuah kerinduan iman. Ia ingin mengalami wujud Tuhan, bukan hanya menyebut nama-Nya.
Kerinduan ini kemudian dijawab oleh Kyai Sholeh Darat. Di hari pernikahannya, Kartini mendapat hadiah yang mengubah hidupnya. Faidh al-Rahman fi Tafsir al-Qur’an, sebuah kitab tafsir berbahasa Jawa. Kitab itu memuat terjemahan serta penjelasan ayat-ayat Al-Qur’an dalam bahasa ibu Kartini—bahasa Jawa.
Dengan kitab itu, Kartini akhirnya bisa membaca dan memahami firman Tuhan. Ia tidak lagi berjalan dalam gelap, tapi mulai merasakan terang.
Perjalanan Tafsir Alquran Bahasa Jawa di Nusantara
Tafsir Al-Qur’an dalam bahasa Jawa tidak lahir dalam ruang kosong. Ia merupakan bagian dari gerakan intelektual, spiritual, dan budaya yang besar, terutama sejak akhir abad ke-19. [2]
Di tengah dominasi bahasa Arab dan pengaruh kolonial yang membatasi pendidikan agama, tafsir-tafsir dalam bahasa lokal menjadi bentuk perlawanan kultural. Mereka hadir dari berbagai basis sosial seperti pesantren di pesisir, komunitas kauman di kraton, hingga masyarakat urban yang mulai terbiasa dengan aksara Latin.
Di pesantren, dikenal metode makna gandul. Di dalam Bahasa Sunda dikenal dengan ngalogat. Metode ini adalah penulisan arti kata demi kata di bawah teks Arab untuk membantu pemahaman gramatikal dan tafsiriyah secara bersamaan.
Penerjemahan menjadi upaya membumikan wahyu, sehingga dari santri hingga petani dapat merasakan kehadiran Tuhan dalam bahasa yang mereka pahami. Penulis-penulis tafsir seperti K.H. Saleh Darat, K.H. Bisri Mustofa, dan K.H. Misbah Zainul Mustofa menggunakan bahasa Jawa sebagai sarana dakwah dan pendidikan.
Dari basis kauman, Tafsir Al-Qur’an Suci Bahasa Jawi karya KH. Raden Muhammad Adnan lahir dari Kasunanan Surakarta.[3] Tafsir Hidaajatur-Rahmaan karya Moenawar Chalil dicetak di Solo pada 1958. Tafsir al-Huda karya Bakri Syahid dicetak pada 1979 di Yogyakarta dan Sekar Sari idung Rahayu, Sekar Macapat Terjemahanipun Juz ‘Amma karya Achmad Djuwahir Anomwidjaja dicetak pertama kali pada 1992 di Yogyakarta.
Di luar arus utama sejarah tafsir, Jemaat Ahmadiyah Indonesia juga telah menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam bahasa Jawa yang dimulai sejak tahun 1997 dan selesai 30 juz pada tahun 2001.[4]
Penerjemahan Alquran bukan sekadar proyek literasi, tapi ikhtiar rohaniah. Dalam konteks ini, kerja mereka sejalan dengan semangat Kartini: bahwa agama seharusnya bisa menyentuh hati, dalam corak bahasa yang paling mudah dipahami.
Kerinduan Hamba yang Mencari Makna
Kartini mungkin tidak menyebut kata “tafsir” atau “hermeneutika”, tapi lewat surat-suratnya, ia mengajarkan pada kita bahwa iman sejati dimulai dari mengerti. Menjadi seorang hamba bukan hanya soal menjalankan syariat secara lahiriah, tetapi juga mengalami makna batiniah. Dan untuk itu, bahasa menjadi perantara yang tak tergantikan.
“Habis gelap terbitlah terang,” sebuah kalimat yang abadi sebagai semboyan perjuangan perempuan Indonesia. Namun ungkapan itu sesungguhnya adalah refleksi dari keyakinannya terhadap Al-Qur’an. Ia terinspirasi dari ayat dalam Surah Al-Baqarah ayat 258 (dengan Bismillah), “Minazh-Zhulumaati ilan-Nuur”, dari kegelapan menuju cahaya.
Bagi Kartini, terang tidak datang tiba-tiba. Ia hadir perlahan, lewat pemahaman bahasa, lewat upaya manusia untuk menyapa Tuhannya dengan bersimpuh dalam kejujuran. Maka sekali lagi, penerjemahan bukan hanya kerja literasi, tapi pekerjaan rohani untuk menyambung jarak antara langit dan bumi.
Dan pada akhirnya, dalam suratnya kepada Ny. Abendanon pada 1 Agustus 1903, Kartini menuliskan harapan terdalamnya,
“Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah SWT.”
Itulah kerinduan yang sesungguhnya. Dalam surat-surat Kartini, terkuak kalam ilahi yang menyusup ke relung hati.

Referensi:
[1] Bagian korespondensi tahun 1899 dalam Buku Kartini: The Complete Writings 1898–1904.
[2] Islah Gusmian, Tafsir Al-Qur’an Bahasa Jawa: Peneguhan Identitas, Ideologi, dan Politik, Ṣuḥuf, Vol. 9 No. 1, Juni 2016, hlm. 141–168.
[3] Tentang sejarah hidup Raden Adnan, lihat Abdul Hadi Adnan, “Pak Adnan: Jangan Minta-minta Jabatan” dalam Prof. Kiai Haji Raden Muhammad Adnan (Jakarta: t.tp., 1996), hlm. 30.
[4] Arsip Sejarah Jemaat Ahmadiyah Indonesia (dok.pri)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

LI Indonesia Update