Dalam kehidupan, emosi merupakan bagian penting yang dianugerahkan Tuhan kepada ciptaan-Nya, termasuk manusia. Emosi diproses di dalam otak, tepatnya pada bagian amigdala (sering disebut juga otak reptil), untuk mengoordinasikan respons fight or flight (serang atau lari) terhadap situasi yang terjadi di lingkungan sekitar.
Menurut psikolog Paul Ekman, manusia memiliki enam emosi dasar, yaitu: terkejut, takut, marah, senang, jijik, dan sedih. Sementara itu, David R. Hawkins menyatakan bahwa manusia memiliki 17 tingkatan atau level emosi. Salah satu emosi yang paling intens dan paling sering dialami adalah kemarahan.
Sumber: Adaptasi dari Pinterest/Google.co.uk dalam https://hastinpratiwi.com/tabel-emosi-skala-hawkins/
Marah merupakan respons emosional yang kuat terhadap situasi atau stimulus yang dianggap sebagai ancaman, ketidakadilan, atau pelanggaran terhadap nilai-nilai pribadi seseorang. Menurut Zoha Ahmad, peneliti di bidang Neurosains, marah adalah bagian dari respons penting untuk melindungi batasan—baik fisik maupun emosional—agar tidak dilanggar.
Meskipun marah bukan sesuatu yang buruk, emosi ini dapat muncul dari waktu ke waktu dan perlu dikelola dengan sehat agar tidak berdampak negatif terhadap kesehatan mental maupun interaksi sosial.
Ketika marah, sebagian orang mungkin memilih untuk memendam perasaannya. Ada juga yang mengekspresikannya secara meledak-ledak, bahkan sampai menyakiti diri sendiri, orang lain, atau merusak benda. Memendam amarah, jika terus dibiarkan dan tidak diolah, bisa meledak seperti bom waktu. Demikian pula, memaki atau berteriak bukanlah solusi yang tepat dalam mengelola emosi tersebut.
Marah juga sangat merugikan jika dipelihara dalam jangka waktu lama. Pertama, karena amarah hanya akan dirasakan oleh individu yang bersangkutan—tidak berpengaruh apa-apa bagi orang lain. Bahkan, orang lain mungkin bisa melanjutkan hidupnya seperti biasa, sementara yang memendam marah justru merasa kusut sepanjang hari. Kedua, emosi marah dapat menular ke lingkungan sekitar, seperti di dalam rumah. Ketidakmampuan mengelola emosi yang berkelanjutan dapat menimbulkan tekanan dan menjadi contoh buruk bagi keluarga, terutama anak-anak. Karena itulah, penting untuk mengetahui cara mengekspresikan dan mengendalikan amarah.
Di dalam Al-Qur’an Surah Ali-Imran ayat 134 disebutkan:
Artinya:Allah menyukai (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebajikan.
Dari ayat tersebut, kita bisa menarik tiga tahapan penting dalam mengelola amarah: menahan amarah, memaafkan, dan berbuat baik. Jika dikaitkan dengan skala kesadaran emosi menurut Hawkins, marah berada pada frekuensi (getaran) 150 Hz dan termasuk dalam kategori emosi tekanan. Untuk melepaskannya, frekuensinya harus ditingkatkan ke tahap netral/menahan amarah (250 Hz), kemudian ke tahap penerimaan/memaafkan (350 Hz), dan akhirnya ke tahap cinta/berbuat kebajikan (500 Hz).
Tahapan-tahapan ini dapat dilakukan melalui berbagai aksi, seperti:
Menenangkan diri dan mengalihkan emosi ke hal-hal positif, misalnya dengan menarik napas dalam sambil memperbanyak istighfar.
Membaca Al-Qur’an dengan suara lantang, agar getaran bacaan turut menaikkan energi positif di sekeliling kita.
Memicu hormon endorfin (hormon kebahagiaan), misalnya dengan menahan senyum penuh selama 9 detik, menulis jurnal, merapikan rumah, atau berolahraga.
Setelah kondisi lebih tenang, mulailah mengidentifikasi dan memahami pemicu amarah tersebut, serta upayakan menghindarinya. Cobalah juga melihat situasi dari sudut pandang yang berbeda.
Komunikasikan perasaan dengan tepat, bicaralah dengan tenang dan penuh adab. Perhatikan nada suara, volume, dan gaya bicara. Cara ini jauh lebih efektif dalam menyampaikan inti masalah dibandingkan dengan memaki atau meluapkan emosi secara kasar.
Tentu, semua proses ini tidak mudah dan membutuhkan waktu. Namun, inilah bentuk jihad akbar—jihad melawan diri sendiri. Maka, fokuskan bahwa usaha mengelola amarah ini dilakukan semata-mata karena kecintaan kepada Allah, bukan untuk menyenangkan orang lain.