Apa jadinya jika generasi penerus tumbuh dalam atmosfer di mana “uang bisa menyelesaikan segalanya”? Maka sejak sekarang, perempuan — sebagai ibu, sebagai pendidik pertama di rumah, sebagai penjaga nilai di tengah masyarakat — harus memegang peran penting dalam menjaga nurani sosial ini.
Ketika perempuan menolak untuk mencemari langkahnya dengan suap, maka ia telah menjadi benteng pertahanan moral yang kokoh bagi lingkungan sekitarnya. Dan ketika sebuah komunitas perempuan mampu menjaga dirinya dari praktik penyuapan, maka ia bukan hanya menjaga dirinya, tetapi menjaga keberlangsungan nilai keadilan itu sendiri.
Sebab itulah pembicaraan tentang penyuapan tidak boleh dilokalisir pada ranah birokrasi atau institusi negara semata. Ia harus masuk ke ranah rumah tangga, ke ruang-ruang pengajian, dan ke dalam hati nurani setiap pribadi.
Bukan untuk menakut-nakuti, tapi untuk membangunkan kesadaran bahwa menjadi jujur itu mungkin. Bahwa menjadi bersih itu bukan hal yang mustahil. Dan bahwa menolak suap adalah laku spiritual yang tak kalah mulia dari ibadah-ibadah lainnya.
Itulah sedikit rasionalitas yang muncul di pikiran penulis. Dan pembahasan tentang penyuapan di atas tidak lain adalah materi muawanah Lajnah Imaillah Bandung Wetan Minggu (18/5) lalu. Bersamaan dengan itu, disampaikan juga materi Tahrik Jadid dan Waqfi Jadid. Betapa keduanya adalah materi yang berkelindan.
Menghindari suap sejatinya berjalan seiring dengan komitmen menjalani hidup sederhana. Ketika seseorang mampu menahan diri dari gaya hidup berlebihan dan keinginan yang melampaui kebutuhan, maka godaan untuk mengambil jalan pintas—termasuk melalui suap—akan jauh lebih mudah ditepis.
Kesederhanaan bukan hanya soal materi, tetapi juga soal hati yang merasa cukup, jiwa yang tenang, dan pandangan yang jernih terhadap makna kebahagiaan. Dengan hidup sederhana, kita tidak hanya menjaga diri dari ketamakan, tetapi juga memperkuat fondasi moral yang membuat kita tak mudah tergoda untuk menyimpang dari nilai kejujuran dan keadilan.
Rahma Roshadi