Garut, 26 April 2025 – Kebebasan beragama di Indonesia tentu sudah memiliki payung hukum jaminan secara konstitusional. Namun pada praktiknya, masih terjadi miskonsepsi yang menyisakan rentetan masalah, terutama bagi kalangan yang rentan dan termarginalkan. Insiden dan konflik yang mengatasnamakan agama masih kerap terjadi di beberapa wilayah.
Isu-isu KBB ini tentu perlu menjadi perhatian khusus. Atas dasar inilah, Fatayat NU Kabupaten Garut bekerja sama dengan berbagai tokoh agama perempuan menginisiasi sebuah Workshop kebebasan beragama dan berkeyakinan dengan persepktif gender bagi ulama perempuan. Workshop inimengusung tema “Peran Ulama Perempuan dalam Upaya Mewujudkan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinnan yang Responsif Gender” yang digelar di Café DHeleur.

Muslimah Ahmadiyah Kabupaten Garut sebagai bagian dari masyarakat Islam juga turut berperan aktif dalam Workshop ini. Ketua Muslimah Ahmadiyah Kabupaten Garut hadir memenuhi undangan sebagai Moderator mendampingi Narasumber utama KH. Cecep Jaya Karama, Pimpinan Pondok Pesantren Nurul Huda Garut. Selain sebagai moderator, Ketua Muslimah Ahmadiyah juga tampil sebagai fasilitator dalam diskusi bedah kasus intoleransi dan persekusi atas nama agama dan turut hadir juga 2 orang Daiyah sebagai peserta workshop.
Pada sesi pertama, Narasumber memaparkan secara lugas mengenai kesetaraan gender dan kaitannya dengan Kebebasan beragama dan berkeyakinan dari perspektif islam dengan mengambil referensi utama dari Al-Qur’an, Hadits dan tafsir jumhur ulama. Sedangkan, dari Muslimah Ahmadiyah menyampaikan kutipan pernyataan Khalifah Ahmadiyah mengenai kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Sementara itu, pada sesi kedua selepas jeda ishoma (istirahat, salat, dan makan) kegiatan dilanjutkan dengan pendalaman materi yang dikemas dengan diskusi grup untuk membedah suatu kasus. Dengan pendekatan ini diharapkan peserta dapat melakukan analisis mendalam terhadap beberapa kasus dan dapat mendorong lahirnya rekomendasi untuk tindakan yang lebih spesifik dalam penanganannya.
Ada 4 kasus yang diangkat dalam diskusi, yaitu kasus pemaksaan penggunaan jilbab, kasus persekusi terhadap wanita atas nama agama, kasus pesekusi warga Ahmadiyah yang sampai saat ini masih tinggal di transito Lombok, serta pelecehan perempuan berkedok agama dalam film “Bidaah”. Kasus-kasus ini diambil dari sekian banyak konflik intoleransi dan persekusi yang berlangsung dari puluhan tahun lalu sampai saat ini. Kasus-kasus ini menjadi bukti bahwa masalah KBB di Indonesia walaupun sudah berlangsung dalam rentang waktu yang sangat lama, tetapi tidak kunjungterselesaikan.
Mirisnya, kasusini dan kasus serupa lainnya justru menyasar kelompok rentan seperti perempuan dan anak. Disinilah diperlukan peran nyata dari Ulama Perempuan untuk menjadi garda terdepan dalam mengawal kasus yang menimpa sesama kaum perempuan. Beragam rekomendasi disampaikan oleh para peserta diantaranya upaya edukasi, mediasi, advokasi, pendampingan psikososial, revisi kebijakan yang diskriminatif hingga tuntunan sanksi yang tegas terhadap para pelaku.
Meski masih pada tataran rekomendasi, tetapi dari Workshop ini para peserta menjadi semakin terbuka wawasan mereka mengenai kebebasan beragama dan berkeyakinan serta sepakat untuk bersama bergandengan tangan menyuarakan pentingnya persaudaraan, saling menghargai, serta menghormati antar agama dan keyakinan, menciptakan harmoni yang indah dalam aneka warna perbedaan.
Selain sesi resmi, pada saat jeda kegiatan, diskusi informal pun tercipta di antara para peserta. Beberapa peserta yang sebelumnya relatif menutup diri, mulai tertarik untuk mengulik, dan menanyakan beberapa hal terkait ajaran Ahmadiyah, serta mengklarifikasi isu-isu yang selama ini beredar luas. Para Daiyah pun menjawab dengan jelas semua pertanyaan yang diberikan.
Hingga akhir penutupan acara, jumlah peserta yang hadir tercatat sebanyak 30 orang terdiri dari utusan Fatayat NU, Muslimat NU, Muslimah Ahlul Bait, Lajnah Imaillah-Muslimah Ahmadiyah, Nasyiatul Aisyiyah, Wanita Syarikat Islam, Persistri, PMII, HMI dan ABI.
Kontributor: Ai Yuliansah