Official Website Organisasi Perempuan Muslim Ahmadiyah

Aku Berharga atas Kasih Sayang Allah Ta’ala Kepadaku

Bagaimana sikap kita apabila teman, kerabat atau orang di sekitar berbahagia atas pencapaian atau rezeki yang diraihnya?

Sudah menjadi hal yang lumrah, bahkan sudah menjadi perilaku yaitu menunjukkan sikap iri atau dengki melihat kebahagiaan orang lain. Sikap tersebut muncul seakan orang lain merebut kebahagiannya atau orang lain merampas rezekinya. Tidak bahagia dengan kesenangan orang lain, lalu mengekspresikan ungkapan negatif untuk mematahkannya atau julid.

Jika ada teman yang meraih pencapaian, kejulidan yang mungkin keluar, “memang sih dia bagus tapi dia begini loh orangnya,” atau “pantas aja dia bisa begini, dia punya ini.”

Ternyata, sikap ini adalah akibat dari rendahnya penghargaan diri, rendahnya kepercayaan diri yang bermula dari kurangnya validasi dan pengakuan sehingga karena kebutuhan ini tidak terpenuhi, orang lain yang menjadi pelampiasannya. Mencari objek lain untuk menutupi rasa mindernya, rasa ketidakberdayaannya, rasa ketidakmampuannya.

Tanpa disadari, cara tersebut sangat menyakitkan bagi sebagian orang, tapi tidak bagi mereka yang penuh tangki kepercayaan dan penghargaan dirinya.

Rendahnya penghargaan diri adalah hasil dari siklus yang menyakitkan. Jika kita ambil permisalan di dalam konteks rumah tangga, ibarat kata seorang wanita mengalami tantangan yang sangat luar biasa dalam awal mula kehidupan rumah tangganya dimana ia harus menghadapi mertua, saudara ipar, atau saudara yang tidak menghargainya, tidak mengakui segala upayanya, dan tidak memberikan ruang untuknya mengatur kehidupan rumah tangga. Kemudian, pencapaian meningkat sehingga ia bisa hidup mandiri bersama keluarga kecilnya dan mulai mengatur segalanya sendiri termasuk dalam segi pengasuhan, lalu tiba masanya ia harus menikahkan anak-anaknya dan menyambut menantu ke dalam rumahnya. Karena merasa pernah mendapat perlakuan tidak baik dari mertuanya lalu ia pun melampiaskan rasa itu kepada menantunya dan membuat rumah tangga anak mantunya menjadi berat.

Selain itu, muncul ketidakamanan karena merasa akan kehilangan kuasa atas kehidupan mandiri anak-anaknya bisa menjadi penyebab penghargaan diri yang rendah, padahal mereka masih tetap menghargai ibunya, ia masih tetap menjadi seorang ibu meskipun anaknya sudah berkeluarga.

Hidup itu adalah pilihan. Ia bisa menjadi pemutus siklus menyakitkan tersebut namun itu semua butuh rasa empati. Dengan dia mengetahui rasa sakit akibat tidak diakui, tidak divalidasi, tidak dihargai, dan mengetahui bahwa semua itu membuat hidupnya menjadi tertekan, maka ia akan mengharapkan agar putri orang lain atau menantunya tidak merasakan apa yang dia rasakan dulu, dan berusaha untuk membantu menantunya melewati masa awal pernikahan dengan indah, dan menjalin hubungan yang indah dengan menantunya.

Begitu juga pada diri kita, segala rezeki yang kita peroleh, kita dulu yang utama merayakannya untuk diri kita. Yaitu dengan sabar dan syukur atas limpahan karunia yang Allah Ta‘ala telah berikan. Tidak perlu menunggu orang lain dan tidak perlu membandingkan diri dengan kehidupan orang lain.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

LI Indonesia Update