Oleh: Begum Hijratul Halida Zia
Juara Dua Lomba Menulis Esai LI Mataram
Kemerdekaan …
Bagi saya, bukan hanya tentang bebas dari penjajahan bangsa lain, tetapi juga bebas dari rasa takut, keterbatasan, dan putus asa. Di tanah rantau, saya pernah berada di titik terendah dimana tubuh tak lagi mampu berdiri, mata setengah sadar menatap langit-langit rumah sakit, dan hati yang nyaris hilang harapan.
Berpekan-pekan saya bertahan di antara obat, jarum suntik, dan doa yang tak pernah putus dari keluarga dan sahabat. Bahkan mendapat doa khusus dari Huzur yang sampai melalui tangan orang-orang terdekat, yang menjadi cahaya di tengah-tengah gelapnya ruang perawatan.
Saat mulai pulih, saya diizinkan pulang. Sambutan hangat dan bingkisan dari teman-teman, sahabat, rekan-rekan organisasi membuat hati saya terharu. Kota tempat saya menempuh kuliah sebelumnya akan selalu menjadi kenangan indah, tempat tumbuh, belajar, dan bertahan. Tak lama setelah kembali ke kampung halaman, orang tua saya mencari kampus yang dapat menerima saya untuk melanjutkan studi tanpa harus mengulang. Syukurnya, salah satu kampus menerima saya dengan tangan terbuka.
Namun takdir berkata lain, ia memberi ujian baru. Sakit itu kembali datang, kali ini dengan vonis yang lebih berat. Salah satu organ harus diangkat, lalu enam bulan kemoterapi menanti. Mual, muntah, rambut rontok, transfusi darah dan leukosit berulang, semua terasa seperti merampas sisa kekuatan.
Setiap kali ingin menyerah, saya selalu teringat wajah-wajah yang percaya saya akan sembuh. Dari situlah saya belajar, kemerdekaan adalah hak untuk memilih: memilih bertahan, meski tubuh ingin menyerah.
Tepat satu tahun yang lalu, kemoterapi berakhir. Satu bulan setelahnya, saya kembali berdiri di tengah keramaian orientasi mahasiswa, bukan hanya sebagai mahasiswa baru di kampus baru, tetapi sebagai seseorang yang telah memenangkan pertempuran berat dalam hidupnya. Rasa minder terhadap penampilan perlahan terkikis, berganti dengan senyum syukur di wajah kala itu.
Kini, saya sudah memasuki semester tujuh. Saya sehat, dan aktif. Rambut, alis dan bulu mata sudah tumbuh kembali. Alhamdulillah, saya dipercaya untuk memimpin AMSAW Nusra sebagai ketua. Perjalanan ini mengajarkan, kemerdekaan bukan selalu lahir dari mimbar megah atau sorak sorai bendera, tetapi juga dari ranjang rumah sakit. Dari doa-doa sunyi di malam hari dan dari langkah kecil yang berani untuk bangkit kembali.
Bagi saya, kemerdekaan adalah keberanian untuk hidup sepenuhnya, meski pernah runtuh. Dan sebagai perempuan, saya ingin suara ini menjadi napas kemerdekaan bagi siapapun yang sedang berjuang melawan keterbatasannya.
MERDEKA!!!