Huzur (aba) menyampaikan sebuah riwayat di mana Hazrat Masih Mau’ud (as) sangat marah kepada seorang sahabat yang bersumpah tidak akan pernah lagi mengizinkan istrinya untuk dapat mengunjungi orang tuanya setelah istrinya tersebut tinggal lebih lama dari yang direncanakan. Hazrat Masih Mau’ud (as) menegurnya dengan keras. Sahabat tersebut sangat terpukul dengan teguran itu. Ia kemudian pergi ke pasar, membelikan hadiah untuk istrinya, dan kembali ke rumah, serta berjanji tidak akan pernah berbicara kasar lagi kepadanya.
Huzur (aba) menasihatkan bahwa jika orang-orang mengamalkan ajaran tersebut, maka masalah-masalah seperti ini tidak akan muncul. Laki-laki, sebagai “penjaga bagi perempuan”, dituntut untuk memiliki syaraf-syaraf yang lebih kuat, pengendalian emosi yang lebih baik, dan toleransi yang lebih besar.
Nabi Muhammad (saw) berpesan bahwa di saat mempertimbangkan diri ke jenjang pernikahan, seseorang harus mengutamakan kesalehan dalam diri pasangannya di atas segala pertimbangan duniawi seperti kekayaan, kecantikan, atau status keluarga. Jika laki-laki mencari istri salehah, mereka akan mengupayakan diri menjadi pribadi saleh, begitu pula sebaliknya.
Huzur (aba) bersabda:“Sebagian orang menitikberatkan pada apakah mereka menikah dengan keluarga kaya, atau apakah keluarga tersebut terhormat, atau apakah anak gadisnya berparas cantik, tetapi semua hal itu tidaklah penting. Jika dia salehah, maka seseorang harus menerima lamaran itu. Jika pola pikir seperti ini yang berkembang dalam diri para pria, maka jika mereka mencari wanita salehah (untuk dinikahi), mereka sendiri akan menjadi saleh. Jika mereka saleh, maka tujuan mereka hanya kepada wanita yang salehah. Tidak ada seorang pria yang asyik dengan perbuatan nakalnya lalu menginginkan istri salehah. Hal itu tidak ada. Ketika kita mengamalkan ajaran-ajaran ini, maka tidak akan ada perceraian, sebab pola pikir kita akan berubah.
Demikian pula, seorang perempuan juga hendaknya mempertimbangkan, ‘Aku ingin menikah dengan pria yang saleh,’ daripada berpikir, ‘Apakah dia punya mobil merek ini? Apakah dia punya rumah pribadi?’ Seringkali, orang tua mengajukan syarat sebelum menikah seperti: ‘Kami akan memberikan putri kami kepadamu; namun beri tahu kami dulu, apakah kamu sudah punya rumah sendiri, atau apakah anakku akan tinggal bersama mertuanya?’ Jika selama enam bulan atau satu, dua tahun, pihak laki-laki tidak mampu membeli rumah sendiri atau bahkan menyewa, mereka akan berkata, ‘Jika putri kami nantinya tinggal bersama mertuanya, maaf ia tidak bisa tinggal di sana.’ Kita harus bersabar untuk beberapa waktu. Anak perempuan juga harus bersabar, jangan karena masalah kecil lalu memutuskan untuk bercerai. Pola pikir ini berlaku untuk dua belah pihak.
Ubahlah pola pikir kalian, tanamkan kesalehan dalam diri kalian, dan tanamkan rasa takut kepada Allah (swt) di dalam hati kalian.
Pola pikir materialistis saat ini menimbulkan perselisihan. Jika kedua pasangan menumbuhkan rasa takut kepada Allah di dalam hati mereka dan sungguh-sungguh mengamalkan janji mereka untuk mendahulukan agama di atas segala hal duniawi, maka tidak akan ada perceraian dan tidak pula muncul rasa takut akan pernikahan. Tidak ada pria yang asyik dengan kenakalannya lalu ingin istrinya menjadi salehah.


