Menyeimbangkan antara Agama dan Urusan Duniawi
Pertanyaan lain terkait dengan bagaimana menasihati anggota Lajnah yang tidak memberikan waktu kepada Jemaat dikarenakan kesibukan pada pekerjaan atau studi mereka. Huzur (aba) mengingatkan pada janji yang diikrarkan setiap Ahmadi untuk memprioritaskan agama di atas hal-hal duniawi. Beliau menyatakan bahwa Tarbiyat harus dimulai sejak masa kanak-kanak. Konsesi dapat dibuat untuk mereka yang sedang belajar. Huzur (aba) menambahkan bahwa, dari 365 hari, siswa menghabiskan waktu di sekolah atau universitas hanya sekitar 160 hari. Terdapat hampir 200 hari akhir pekan dan hari libur di mana waktu tersebut dapat didedikasikan untuk Jamaat. Bahkan wanita yang bekerja memiliki akhir pekan dan cuti tahunan. Mereka harus didorong untuk berkhidmat setidaknya 30-50 hari dalam setahun untuk berkhidmat, misalnya di acara Jalsah Salanah, Ijtima dan kelas Tarbiyat lainnya.
Nasihat ini harus diberikan dengan cinta dan kasih sayang yang konsisten. Huzur (aba) menyoroti bahwa Al-Qur’an berulang kali memerintahkan kita untuk saling mengingatkan, karena Allah, Pencipta kita, mengetahui sifat kita dan bahwa kita rentan terhadap kelupaan (Q.S. Az-Zariyat ayat 27). Pendekatan para pengurus harus diseimbangkan, jangan terlalu ketat atau juga tidak ada sama sekali, serta harus berdasarkan teladan mereka sendiri.
Menyampaikan Pesan Islam dengan Hikmah
Seorang anggota Lajnah yang baru menerima Ahmadiyah bertanya tetang bagaimana cara terbaik dalam menjelaskan pesan Ahmadiyah kepada Muslim non-Ahmadi atau atheis dengan efektif dan bijaksana. Huzur (aba) memberi petunjuk bahwa argumen-argumen yang membuatnya yakin menerima Ahmadiyah adalah argumen sama yang harus ia sampaikan kepada orang lain. Ia harus menjelaskan nubuat-nubuat Nabi Muhammad (saw) tentang kedatangan Al-Masih dan Al-Mahdi di Akhir Zaman untuk menghidupkan kembali Islam. Ia kemudian dapat memberi perbandingan antara ajaran logis dan bijaksana dari Komunitas Ahmadiyah dengan berbagai keyakinan yang tak masuk akal umat Islam lainnya, yang menantikan seorang Al-Mahdi yang akan turun dari langit dengan jasad kasarnya, serta bersenjatakan pedang. Ia harus menjelaskan bahwa ia menerima Ahmadiyah atas dasar penjelasan ajaran Islam yang benar dan memenuhi nubuat-nubuat Nabi Muhammad (saw).
Hazrat Masih Mau’ud (as) telah menghasilkan banyak literatur guna menjelaskan makna sejati Al-Qur’an dan Hadits. Anggota Ahmadi percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, Nabi Muhammad (saw) sebagai khataman nabiyyin, dan Al-Qur’an sebagai kitab suci terakhir. Hazrat Masih Mau’ud (as) datang hanya sebagai Nabi yang lebih rendah dan hamba Nabi Muhammad (saw) guna menghidupkan kembali agama Beliau (saw). Jika dijelaskan dengan cara ini, bagi yang bertakwa maka mereka akan mengerti. Tugas seorang Ahmadi hanyalah menyampaikan risalah (tabligh) sedangkan hidayah itu sendiri ada di tangan Allah Ta’ala (Q.S. Al-Ma’idah ayat 68; Al-Baqarah ayat 273).
Penjelasan tentang Halal dan Tayyib
Berkenaan dengan konsep halal dan tayyib, ada pertanyaan apakah boleh memakan daging apapun hanya dengan membaca “Bismillah”. Huzur (aba) menjelaskan bahwa “halal” mengacu pada apa yang disembelih atas nama Allah. Allah Ta’ala telah melarang empat atau lima hal, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 174). Dengan membaca basmalah, seseorang dapat memakan hewan yang disembelih dengan metode yang memungkinkan darahnya mengalir dan tidak disembelih atas nama berhala atau entitas apa pun selain Allah. Sementara Tayyib merujuk pada sesuatu yang suci dan bermanfaat. Huzur menjelaskan bahwa sesuatu bisa bersifat halal tetapi tidak tayyib. Misalnya, seekor ayam yang halal, tetapi jika mati dan mulai membusuk, maka ayam tersebut tidak lagi suci. Oleh karenanya haram untuk dimakan, kecuali dalam kondisi kelaparan yang amat sangat [iztirar].

