Official Website Organisasi Perempuan Muslim Ahmadiyah

Cinta pada Pandangan Pertama: Mematahkan Ekspektasi Semu tentang Pernikahan

Hidup di Barat artinya kita dibesarkan dengan versi cinta dan hubungan yang penuh romantisme dan idealis. Yang terbayang mungkin, laki-laki bertemu perempuan, saling jatuh cinta dan bahagia selamanya.

Namun, ungkapan seperti “cinta pada pandangan pertama” dan “dialah takdirku” akan runtuh sebelum dimulainya proses rishta/perjodohan (jika beruntung) atau beberapa bulan setelah menikah. Bayangkan saat itu tiba, dimana kita akan sadar bahwa pasangan yang kita pilih bukanlah sosok sempurna seperti yang dibayangkan sebelumnya atau jatuh cintanya tidak lagi seperti saat pertama kali bertemu.

Apapun daya tariknya, kita dibesarkan untuk berpikir bahwa setelah menemukan “kecocokan”, maka kita akan menjalani kehidupan penuh suka yang tak ada habisnya. Pernikahan yang tentram hingga akhir hayat tanpa konflik yang besar, dengan perasaan jatuh cinta yang bertahan selamanya, dan itu akan menjadi hubungan yang indah. Tetapi nyatanya, angka perceraian meningkat drastis, padahal seharusnya “pernikahan penuh kasih” dan hubungan yang “inilah takdirku”, lalu dimanakah letak kesalahannya?

Seorang pengacara yang menangani banyak kasus perceraian mengatakan bahwa penyebab nomor satu terjadinya perceraian adalah karena mereka “menolak fakta bahwa mereka menikah dengan manusia biasa”. (Saving Your Marriage Before It Starts, Drs. Les Parrot dan Leslie Parrot, 1995, p. 29)

Cinta atau Hawa Nafsu?

Pada fase ketertarikan awal, atau dikenal sebagai “jatuh cinta”, kita dikaburkan dengan hormon dopamin yang membuat kita merasa bahagia. Itulah mengapa kita tidak memperhatikan banyak kekurangan orang lain karena kita secara harfiah “dibutakan oleh cinta”. Otak mematikan atau meredam area yang terkait dengan logika dan alasan, sehingga kita tidak bisa berpikir jernih. Kita akan mengabaikan semua tanda merah dan mengejar orang tersebut karena kita bersikeras tidak ada orang lain seperti dia dan dia adalah “satu-satunya”.

Ketika tertarik pada seseorang, otak kita melepaskan dopamin. Unsur kimia ini memberikan perasaan hangat namun membuat pikiran kita menjadi buyar. Hal ini menimbulkan rasa ingin memiliki yang begitu mendalam dan candu, mirip dengan orang yang ketagihan kokain dan alkohol. Ini menjelaskan mengapa kita mungkin merasa cocok dengan orang tersebut dan mulai berpikir bahwa “dialah takdirku”, meskipun mungkin tidak seperti itu.

Setiap orang punya kekurangan, dan tidak ada yang namanya “pribadi yang sempurna”. Meskipun ada kecocokan, itu tidak menjamin pernikahan yang sukses karena, seperti yang akan kita bahas di bawah ini, bahwa setiap pernikahan mengalami kondisi pasang surut dan harus senantiasa dirawat.

“Tuhan membantu laki-laki yang menunda menikah sampai dia menemukan wanita yang tepat, dan Tuhan terus membantunya saat dia menemukannya,” oleh Benjamin Tillett, seorang politisi Inggris pada awal 1900-an.

Hazrat Muslih Mau’ud (ra) menyampaikan di dalam sebuah khotbah nikah bahwa orang-orang yang menikah hanya atas cinta dan nafsu, ketika perasaan itu pudar, maka hidup mereka akan berakhir dengan kehancuran. Beliau (ra) mengatakan bahwa di awal, seseorang tidak boleh memiliki terlalu banyak harapan atau mengandalkan pendapat pribadinya sendiri. Hal-hal dangkal seperti usia, nama, dan kecantikan menjadi sama sekali tidak relevan dalam jangka waktu yang panjang. Dan jika kita bertanya kepada setiap pasangan yang sudah menikah, mereka akan menasihatkan hal yang sama.

Perasaan di awal tidak bisa menjadi patokan. Merasa cocok atau ibarat seperti ada getaran cinta bukanlah indikator yang tepat untuk memastikan apakah kita berjodoh dengannya atau tidak. Dalam sebuah surat Hazrat Dr. Mir Muhammad Ismail (ra) yang sedang memohon petunjuk tentang seorang Rishta kepada Hazrat Masih Mau’ud (as), Beliau (as) bersabda: “Janganlah bergantung pada pikiran tersembunyi Anda. Pandangan jiwa muda dan tidak berpengalaman tidak dapat diandalkan.” (Seerat-ul-Mahdi, Vol. 1, Bagian 3, Narasi No. 809, hlm. 736-738)

Kecocokan Berdasarkan Karakter

Paul Brunson, salah satu biro jodoh terkemuka di Amerika, mengatakan kecocokan terletak pada empat hal yaitu pola menjalin hubungan, kemampuan berkomunikasi, nilai-nilai, dan daya tarik. Ia juga mengatakan bahwa kita sulit mengetahui apa yang kita inginkan, karena kita jarang berpikir rasional dalam situasi-situasi seperti itu.

Ia mengatakan, nilai-nilai yang benar seperti agama, karakter, dan pandangan hidup (sebagaimana disebutkan dalam hadist), “sangatlah penting” sebagai suatu bentuk penekatan dalam menjalin hubungan. Dan selama kita dapat berkomunikasi dengan baik, mampu membuat keputusan yang kolaboratif, dan meminimalisir daya tarik, maka hubungan semacam itu dapat berhasil. Ditegaskan sekali lagi, meminimalisir daya tarik. Bukan sama sekali menghilangkannya tetapi kita hanya perlu dalam porsi yang minimal karena daya tarik tersebut dapat dan memang akan selalu bertumbuh. Setidaknya salah satu dari pasangan perlu menjalin hubungan yang aman agar tumbuh rasa saling membutuhkan dan memperkuat ikatan.

Namun, Nabi Muhammad (saw) telah menasihatkan hal ini jauh sebelumnya. Beliau sangat menekankan kepada kita bahwa, “Nikahilah orang yang taat beragama, biarlah hidungmu digosok debu,” seraya menekankan bahwa, “jika engkau menikah dengan orang yang saleh, engkau akan beruntung; jika tidak, engkau tidak akan beruntung.” (Sunan Ibnu Majah, Hadits 1858)

Di dalam hadits lain, Rasulullah (saw) bersabda, sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah. (Sunan Ibnu Majah, Hadits 1855)

Menundukkan Pandangan

Ada alasan kuat mengapa Islam mengajarkan kita untuk menghindari segala bentuk zina dan memerintahkan kaum pria untuk menundukkan pandangannya. Ketika seorang pria terbiasa melihat dengan bebas dan menonton program TV biasa sekalipun, perempuan yang ia lihat menjadi ekspektasi dalam hal penampilan untuk calon pasangannya kelak. Sementara, penampilan bisa menipu dan tidak dapat menentukan kualitas pernikahan di masa depan. Jika pandangannya dibiarkan mengembara, maka akan menimbulkan potensi dimana ia akan menolak lamaran yang sangat baik, hanya karena ekspektasinya telah dibelokkan oleh sosok yang dilihatnya di program TV. Sulit untuk menerima hal-hal ini ketika masih muda dan sedang dalam proses mencari pasangan. Tetapi jika agama sudah memberi petunjuk, para penasihat pernikahan dan pasangan berpengalaman juga membenarkan, maka menjadi sangat tidak bijaksana apabila tidak diperhatikan.

Cinta Tidaklah Cukup

Cinta saja tidak cukup untuk membangun pernikahan yang langgeng. Perasaan-perasaan itu akan pudar, dan ketika itu terjadi, kita perlu menemukan cara untuk menjaga percikan cinta tetap menyala dan merawat komitmen satu sama lain. Meskipun cinta pasang surut, intinya menjaga komitmen pernikahan haruslah menjadi ibadah kita kepada Tuhan. Jika kita menganggap cinta sebagai kata kerja, bukan perasaan, dan memperlakukan seseorang atas dasar cinta kepada Tuhan, sebagaimana disebutkan dalam hadis, maka hal itu akan menciptakan ikatan yang lebih kuat dan cinta yang lebih mendalam untuk jangka waktu yang panjang.

Rasulullah (saw) bersabda, ada tiga hal yang akan membuat seseorang merasakan manisnya iman, yaitu mencintai seseorang semata-mata karena Allah, Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai daripada yang lain, dan membenci kekufuran. (Sahih al-Bukhari, Hadits 21)

Mempersiapkan pernikahan

Banyak orang menghabiskan seluruh waktu mereka untuk mempersiapkan pesta pernikahan, tetapi jarang untuk kehidupan setelahnya. Karena ekspektasi yang keliru, mereka mengalami kekecewaan yang amat berat hanya dalam beberapa bulan pernikahan.

Kita juga sering diberi nasihat bahwa pernikahan adalah solusi untuk semua masalah. Tidak punya pekerjaan? Menikah. Merasa terpuruk? Menikah. Punya masalah kesehatan? Menikah! Percaya atau tidak, pernyataan ini memang ada benarnya. Pasangan yang menikah cenderung lebih bahagia, lebih sehat, dan lebih sejahtera secara finansial daripada orang yang tidak menikah, menurut berbagai penelitian yang dilakukan dalam beberapa dekade terakhir. Namun, manfaat di atas tidak ditemukan pada pasangan yang tidak resmi secara sipil. Kontrak dan komitmen pernikahan dikatakan dapat membawa kedamaian, kepercayaan, keamanan, dan kebahagiaan. Jika kita sudah memiliki pasangan seumur hidup, kita dapat berbagi segalanya dan saling bekerja sama dalam melewati berbagai fase kehidupan. Sedangkan dalam hubungan tidak resmi (kumpul kebo), tidak ada komitmen dan jaminan. Salah satu bisa saja meninggalkan yang lain kapan pun. (The Case for Marriage: Why Married People are Happier, Healthier and Better Off Financially, 2001, Linda J. Waite)

Akan tetapi, menikah juga tidak otomatis menghilangkan semua masalah kita. Manfaat di atas tergantung dari kerja keras kita, yaitu waktu dan upaya yang dikerahkan untuk merawat hubungan pernikahan dan tetap bertahan dalam melewati masa-masa sulit. Pasangan tidak bisa menyembuhkan kebiasaan buruk ataupun mengubah hidup kita. Semuanya tergantung dengan kita ingin berubah menjadi lebih baik atau tidak. Pasangan hanya bisa membantu, dan kita yang berupaya untuk selalu positif dan berkeinginan untuk saling bekerja sama demi kebaikan berdua. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah pernikahan adalah hubungan antara dua insan biasa yang berjanji untuk selalu bersama dalam suka maupun duka. Sehingga dalam pernikahan, baik suami maupun istri, keduanya tidak pasti terhadap apa yang akan dihadapi kedepannya. Tak seorangpun mengetahui tantangan apa saja yang muncul, meskipun sudah bertahun-tahun menikah. Oleh karena itu, solusinya hanyalah berpegang teguh kepada Allah Ta’ala.

“Disamping berdoa untuk memperoleh perubahan suci di dalam dirinya, ia juga mesti berdoa untuk anak dan istrinya, karena ujian manusia yang paling sering adalah tentang anak,” Nasihat Hazrat Masih Mau’ud (as) (Malfuzat [1988], Vol. 5, p. 456)

Pernikahan dimulai dengan harapan dan kegembiraan yang luar biasa, tetapi kita abai mengantisipasi kesulitan yang datang kelak, yang mungkin akan berdampak pada lingkungan, keluarga ataupun pertemanan. Saat keturunan lahir bisa menjadi karunia ataupun petaka. Pernikahan adalah urusan serius, bukan sekedar hiburan atau permainan belaka.

Dengan pandangan ini, bangunlah ekspektasi yang realistis dan andalkan doa, maka pernikahan benar-benar akan dapat memberikan manfaat dan dipenuhi dengan banyak keberkahan.

Referensi: Atif Rashid, UK https://www.alhakam.org/love-at-first-sight-false-expectations-of-marriage/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

LI Indonesia Update