Oleh: Rahma
“Rasulullah saw telah dijanjikan kemenangan dan kedudukan mulia oleh Allah Taala, tetapi tetap merendahkan diri dan mengandalkan doa kepada Allah dalam setiap langkah dan keputusan hidupnya. Bagaimana dengan kita?” [1]
Kalimat di atas adalah closing statement yang disampaikan pada kegiatan Ta’lim Days hari Minggu (9/3) lalu. Kalimat tanya yang, seharusnya, sangat telak merobohkan benteng kesombongan manusia manapun.
Sejarah telah mencatat nama seorang manusia mulia bernama Muhammad (saw). Namanya begitu agung, sampai-sampai menjadi teladan sempurna bagi umat manusia.
Bukan hanya bagi dan oleh umat Islam, Rasulullah saw bahkan juga diakui oleh banyak sejarawan dari luar agama Islam sebagai sosok yang sangat patut diteladani. Sebuah buku fenomenal dari Michael H. Hart berjudul “The 100” [2] barangkali sudah terlalu populer.
Thomas Carlyle – Dalam salah satu orasi ilmiahnya yang menjadi buku berjudul “On Heroes, Hero-Worship, and the Heroic in History,” [3] Carlyle memuji ketulusan dan kepemimpinan Nabi Muhammad saw, di mana dalam orasi ilmiah itu Carlyle juga menggarisbawahi pentingnya seorang pemimpin yang heroik.
Carlyle, meskipun tidak menyatakan secara eksplisit tentang “kepatuhan,” menggambarkan Nabi Muhammad sebagai sosok yang benar-benar percaya pada misinya sebagai utusan Tuhan dan tidak tergoda oleh kepentingan duniawi.
Selain mereka, ada juga Karen Amstrong. Ia adalah seorang sejarawan Inggris, yang menggambarkan Rasulullah saw sebagai pemimpin penuh kasih. Dalam seri bukunya “Eminent Lives,” Amstrong menulis buku berjudul “Muhammad: A Prophet For Our Time” pada 2006 [4]. Kita tahu, selain sejarawan Amstrong adalah seorang biarawati.
Akan tetapi, Amstrong menegaskan dalam bukunya bahwa Nabi Muhammad memiliki hubungan yang sangat erat dengan Tuhan, dan semua tindakannya didasarkan pada keyakinan bahwa ia adalah utusan-Nya. Ia juga menyoroti bagaimana Nabi selalu mencari bimbingan dari Allah dalam setiap keputusan penting (hal. 82).
Sekuat Apa Manusia Mampu Berdiri?
Keteladanan yang disampaikan pada pemaparan materi ini sangat menggetarkan. Di balik sosok agung Rasulullah saw, sangat terlihat bahwa beliau tidak melepaskan doa sebagai senjata utama. Merendahkan diri di hadapan Allah Taala adalah bukti akhlak seorang hamba, yang sangat mengharapkan belas kasih dan pertolongan Tuhan.
Dalam berbagai riwayat tentang peperangan yang disampaikan dalam berbagai materi, disebutkan dengan jelas bahwa Rasulullah saw tidak pernah terburu-buru dalam melangkah maju atau mengambil keputusan strategis tanpa terlebih dahulu memohon petunjuk dan pertolongan kepada Allah melalui doa.
Sikap ini menjadi cerminan dari ketawadhuan yang luar biasa, di mana beliau tetap bersandar sepenuhnya kepada Allah, bahkan ketika kemenangan telah dijanjikan. Dengan demikian, Rasulullah saw mengajarkan kepada umatnya bahwa seberapa pun besar keyakinan akan keberhasilan, seorang hamba tetap harus menyandarkan diri kepada Sang Pemilik segala urusan.
Teladan ini, tentang keagungan Allah Taala dibalik sosok Rasulullah saw, ternyata sejalan dengan pesan hikmah yang disampaikan dalam Khotbah Hadhrat Khalifatul Masih Al-Khamis (atba) pada Jumat (7/3) lalu.
Hudhur menekankan pentingya menguatkan qurub ilahi (kedekatan kepada Allah Taala), karena tidak ada kemampuan atau upaya apapun yang bisa kita lakukan tanpa pertolongan dari-Nya. Hudhur bersabda, bahwa kita seharusnya tidak hanya berdoa untuk hal-hal yang menguntungkan diri kita sendiri, tetapi kita juga harus berdoa untuk mencapai kedekatan dengan Tuhan. Jika seseorang fokus untuk menyenangkan Tuhan, maka Dia yang akan membuat orang lain senang dan bersikap baik kepada mereka. Maka, hal yang paling utama adalah mencari belas kasih Allah Taala dan bertindak sesuai dengan perintah-perintah-Nya. [5]