Dalam bahasa Arab, syukur (الشُّكر) berasal dari kata kerja syakara–yasykuru (شَكَرَ – يَشْكُرُ) yang berarti menyadari dan menampakkan nikmat. Syukur juga bermakna mengenali kebaikan yang diberikan lalu menyebarkannya.
Berdasarkan makna kata di atas dapat kita artikan bahwa dengan bersyukur kita menyadari atau mengakui setiap karunia atau kebaikan yang telah kita dapatkan dan menampakkannya. Bagaimana cara menampakkan rasa syukur? Di dalam Tafsir Shagir, syukur itu dapat kita tampakkan dengan tiga cara yaitu, (a) dengan hati dan pikiran memaknai dengan tepat terhadap manfaat yang diperolehnya, (b) dengan lidah memuji-muji, menyanjung atau memuliakan orang yang berbuat kebaikan, (c) dengan anggota badan, membalas kebaikan yang diterima setimpal dengan jasa itu.
Lebih lanjut, di dalam Tafsir Shagir dijelaskan bahwa Syukr bertumpu pada lima hal yaitu kerendahan hati dari penerima, rasa cinta, pengakuan atas hal yang diberikan, sanjungan atas pemberian tersebut, dan tidak mempergunakan pemberian dengan cara yang tidak disukai oleh si pemberi. Kita hanya dapat benar-benar bersyukur kepada Tuhan, bila kita mempergunakan segala pemberian-Nya dengan tepat.
Pengertian dari dua sumber di atas menjelaskan kepada kita bahwa syukur, yaitu kita mengakui suatu kebaikan kemudian menyebarkan kebaikan tersebut dengan cara menyanjung atau memuliakan orang yang memberikan kebaikan itu. Kemudian kita memberi balasan, yaitu setidaknya dengan cara memanfaatkan pemberian tersebut dengan bijaksana.
Mengenai hakikat bersyukur, Yang Mulia Hazrat Khalifatul Masih V (aba) memberi gambaran kepada kita dengan sangat indah, sehingga kita dapat memahami syukur lebih mendalam. Yang Mulia Huzur (aba) mengisahkan, seorang Raja telah mendapatkan hadiah, sebuah melon. Melon itu kemudian dipotong olehnya dan potongan pertama diberikan kepada seorang pelayan. Si pelayan menerimanya dengan sangat gembira dan memakannya. Pelayan itu begitu menikmati setiap gigitan potongan buah melon tersebut. Terlihat sangat melezatkan hingga Sang Raja tergiur untuk mencicipinya juga. Setelah Raja mencicipi buah tersebut, ternyata rasanya sangat kecut. Raja merasa heran kepada si pelayan mengapa ia begitu bahagia dan menikmati buah yang kecut tersebut. Si pelayan kemudian menjawab, “Tuan telah memberiku begitu banyak kemurahan hati. Dan semuanya dari paling baik. Aku sangat bersyukur dan bahagia atas semua pemberian Tuan.” Si pelayan kemudian melanjutkan, “Bagaimana mungkin atas sepotong melon kecut ini, aku lantas melupakan semua kebaikan Tuan dan melepehnya. Aku sangat senang dengan pemberian Tuan ini, jadi aku sangat menghargainya, dan aku tahu bahwa Tuan pun tidak mengetahui perihal rasanya.”
Dari kisah di atas, Yang Mulia Huzur (aba) menjelaskan bahwa syukur itu tidak hanya ketika kita mendapat kebahagiaan. Tetapi di kala kita sedang mengalami kesulitan, kita harus senantiasa mengingat karunia yang Allah Taala telah anugerahkan kepada kita yangmana sungguh tidak terhingga.
Oleh karenanya, ketika sedang dalam keadaan kecut, seperti buah melon tadi, berupayalah untuk mengingat karunia-karuna yang Allah Taala berikan kepada kita. Itulah yang membuat kita semakin yakin akan pertolongan-Nya dan menarik karunia lebih banyak lagi. Dan utamanya, kita menjadi dapat belajar mengamalkan sikap bersyukur sebagaimana yang dijelaskan oleh Yang Mulia Huzur (aba).