Keluarga adalah lingkungan yang pertama kita kenal. Di dalamnya, seseorang bisa mulai belajar berdiri, saling memahami dan berkontribusi positif untuk saling mendukung satu sama lain. Perempuan (Lajnah) yang tangguh, adalah salah satu modal yang berperan mewujudkan keutuhan keluarga tersebut.
Secara leksikal, tangguh berarti Sukar dikalahkan, kuat, andal, tabah, tahan. Sementara utuh berarti Dalam keadaan sempurna sebagaimana adanya atau sebagaimana semula (tidak berubah, tidak rusak, tidak berkurang), lengkap.
Insan yang tangguh merupakan modalitas bagi setiap keluarga Ahmadi untuk membentuk keluarga yang utuh, dimana satu sama lain harus memiliki bounding yang tidak bisa dimasuki sesuatu yang merusak keutuhannya.
Perempuan dikatakan sebagai pemegang peran di dalam keluarga, karena tugas utama seorang perempuan – khususnya perempuan muslim – adalah terhadap Allah. Setelahnya, ia juga mempunyai tugas-tugasnya terhadap sesama makhluk, di mana yang utama adalah untuk suami dan anak-anaknya (sumber: https://www.alislam.org/book/pathway-to-paradise/womens-issues/).
Mengelaborasi kalimat di atas, sudah sangat tergaris jelas bahwa perempuan akan memegang peran penting di dalam keluarga, sebagaimana tuntunan yang diberikan oleh Islam. Sejak perempuan menjadi istri, maka ia memiliki tugas utama untuk mengkhidmati suami. Demikian halnya ketika lahir anak-anak, maka orang tua akan menjadi contoh bagi anak-anak, dan seorang ibu adalah pendidik pertama bagi generasi penerus keluarga tersebut. Maka, adalah penting ketika menjalankan setiap peran di keluarga, kita menjadikan Allah sebagai motivator utama.
Sejalan dengan hal ini, Hadhrat Amirul Mukminin menegaskan Slogan Jemaat Ahmadiyah yaitu “Love for All, Hatred for None”, yang juga merupakan manifestasi pentingnya keutuhan keluarga. Pada khutbah Jumat bulan Desember 2013 tentang “Aspek Reformasi Diri”, beliau bersabad bahwa tempat pertama kita untuk menerapkan rasa sayang adalah keluarga.
Mengapa Lajnah Perlu Membangun Ketangguhan?
Tidak sedikit permasalahan yang harus dihadapi dalam kehidupan seseorang, termasuk juga dalam bahtera rumah tangga. Sebagai individu, seseorang dituntut untuk siap menghadapi situasi krisis dan segera melenting kembali agar dapat menyelesaikan tugasnya dan melewati setiap permasalahan yang dihadapi. Sementara dalam lingkup keluarga, kemampuan pulih dari krisis juga harus dimiliki sebuah keluarga untuk menghadapi, beradaptasi dan mempertahankan fungsi keluarga tersebut.
Di dalam Al-Quran Allah berfirman, Dan sesungguhnya akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan (TQS. 2: 156). Sebuah kepastian telah dituliskan bahwasanya akan datang sebuah kondisi yang menguji ketangguhan seseorang sebagai individu, dan juga dalam perannya sebagai anggota sebuah keluarga.
Konkretnya, permasalahan di tengah keluarga yang muncul adalah anggota keluarga yang sakit, masalah ekonomi, konflik dengan anggota keluarga, hingga kehilangan anggota keluarga. Dalam kondisi inilah keluarga Ahmadi harus bisa menjadi contoh dalam hal ketangguhan, pengetahuan, ekonomi dengan cara mencintai hanya karena Allah Taala.
Bagaimana Mewujudkan Ketangguhan Keluarga?
Dalam upaya mewujudkan keutuhan dan ketangguhan keluarga untuk lepas dari krisis, maka terdapat beberapa dimensi yang harus dikukuhkan bersama oleh setiap anggota keluarga.
1. Keyakinan (Beliefs)
Keyakinan merupakan sesuatu yang diyakini bersama, yang dapat membantu anggota keluarga dalam memaknai cobaan, membangun harapan, dan berpandangan positif. Dalm hal ini, keyakinan/agama akan membantu keluarga memandang krisis sebagai sarana transformasi diri (kesempatan untuk tumbuh).
Oleh karenanya, sangat penting menempatkan satu keyakinan yang sama kuat di dalam keluarga, sehingga krisis yang dihadapi akan dijalani dengan satu pemahaman yang sama. Sebagai contoh, di dalam Islam seseorang akan menempatkan sebuah cobaan sebagai awalan dari datangnya kemudahan (QS. Al-Insyirah: 6).
Selain itu, seorang muslim juga harus yakin bahwa Allah Taala tidak akan membebani seseorang melebihi kemampuannya (QS. Al-Baqarah: 287). Dalam upaya melewati setiap masalah, seorang yang bertakwa kepada Allah swt juga akan yakin bahwa Dia dekat dan Maha mengabulkan doa (QS. Al-Baqarah: 187).
Hadhrat Khalifatul Masih Al-Khamis juga bersabda, “Ketika seorang mu’min melakukan suatu hal yang baik, ia akan memperoleh ganjarannya. Namun, ganjaran atas kesabaran adalah tak terhitung dan tak terbatas. Tuhan berfirman bahwa inilah orang-orang yang sabar dan inilah orang-orang yang telah memahami Tuhan.”
Jika seseorang telah meyakini sebuah kekuatan yang “MAHA”, maka ketangguhan akan muncul untuk melewati setiap kesulitan/ ujian yang dihadapi.
2. Pengorganisasian (Organization)
Hal ini berkenaan dengan struktur keluarga dan dukungan timbal balik di dalamnya. Keterhubungan antar anggota keluarga memungkinkan terbentuknya rasa aman dan kolaborasi dalam keluarga di saat dibutuhkan.
Terkait dengan keterhubungan antar satu sama lain, Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang menjauhkan kegelisahan dan kesusahan duniawi orang lain maka pada hari kiamat Allah Ta’ala akan menjauhkan kegelisahan dan kesusahannya.”
Hadis tersebut tentu berlaku pula dalam hal berkolaborasi, saling meringankan, saling mendukung dan saling memberikan rasa aman di antara anggota keluarga.
Sejalan dengan hadis tersebut, Yang Mulia Hudhur bersabda, “Amalkanlah nasihat Rasulullah saw yakni penuhilah hati kalian dengan takwa. Selesaikanlah setiap masalah dengan jalan takwa.”
Dengan demikian, permasalahan apapun yang dihadapi oleh keluarga, haruslah dikembalikan kepada jalan takwa untuk penyelesaiannya, sebagai wujud kolaborasi yang sempurna sebagai seorang mu’min.
3. Komunikasi (Communication)
Dimensi ketiga adalah pentingnya komunukasi dalam keluarga. Komunikasi yang terbuka dan jelas, mengandung toleransi, dan membesarkan hati sangat dibutuhkan oleh setiap individu. Apalagi, jika sedang berada dalam suatu permasalahan.
Jika di tengah keluarga telah tercipta atmosfer komunikasi yang nyaman dan mengedepankan empati untuk mencari solusi, maka siapapun akan merasa nyaman dan aman berada di keluarga tersebut. Ada semangat untuk mencari solusi bersama dan tidak terlalu jatuh terpuruk ketika menghadapi ujian.
Secara khusus, Hadhrat Khalifatul Masih V menyoroti penerapan sifat Hilm (sabar, pengasih, lembut, pemaaf) di dalam rumah tangga, yaitu terhadap asisten rumah tangga, antara pasangan suami-istri, maupun mertua/ipar terhadap menantu.
Artikel merupakan materi Webinar Tarbiyat Rishtanata tanggal 3 September 2022
Narasumber: Dra. Muskatiani, M.Si