Nabi besar Muhammad saw telah mendapatkan sebuah karunia “perjalanan” yang sarat makna. Dua etape dilalui dan patut dimaknai sebagai sebuah gambaran sekaligus teladan. Tak terkecuali, bagi perempuan.
Tak sedikit penggambaran perjalanan ini yang menggarisbawahi tontonan surga dan neraka. Khusus terkait dengan perempuan, salah satu yang dilihat oleh Nabi saw adalah gambaran penghuni neraka, yang sebagian besar adalah perempuan.
Gambaran ini, di satu sisi adalah cambukan bahwa perempuan memegang peran yang sangat besar di dalam kehidupan. Dengan besarnya peran tersebut, mutlak bagi perempuan untuk merevolusi dirinya.
Akan tetapi, di saat yang bersamaan muncul kritik terhadap pesan ketaatan dan kesetaraan bagi perempuan di dalam Islam. Terlebih, ketika menggarisbawahi relasi ketaatan istri kepada suami atau perempuan kepada laki-laki, sebagai salah satu penyebab terisinya neraka secara mayoritas oleh perempuan.
Tahun Kesedihan Rasulullah saw
Beberapa tafsir menjelaskan secara gamblang bahwa perjalanan Nabi Muhammad saw ini terjadi pada masa beliau berduka. Salah satunya adalah karena kewafatan Khadijah binti Khuwailid, istri tercinta Baginda Nabi saw.
Hadhrat Khadijah wafat pada usia 65 tahun. Tahun itu pun dikenal dengan ammul huzmi atau tahun kesedihan. Luar biasanya, penghiburan dari Allah swt adalah sebuah “perjalanan,” yang diyakini menjadi babak baru ketaatan beliau saw kepada Allah swt.
Sosok Hadhrat Khadijah pun mendapat tempat mulia di sisi Allah swt, sebagai istri yang menemani perjuangan Rasulullah saw. Jika Khadijah tidak dianggap berperan, belum tentu akan ada penghiburan spiritual yang secara khusus diberikan kepada beliau saw. Hal ini bisa jadi sebuah tanda bahwa Allah tidak ingin kekasih-Nya berlarut-larut dalam kedukaan mendalam.
Kesedihan Nabi pun sirna manakala mengingat balasan Allah swt bagi sang istri adalah surga. Bukan hanya itu, Allah swt juga sangat mengapresiasi Hadhrat Khadijah yang diisyaratkan dalam Alquran sebagai perempuan-perempuan penghuni surga.
Memahami Makna Taat yang Sesungguhnya
Kepatuhan Hadhrat Khadijah kepada Rasulullah saw memang tak akan pernah ada tandingannya. Maka wajar jika beliau saw sangat berduka dengan kepergian sang istri.
Banyak riwayat menggambarkan kecintaan Nabi Muhammad saw pada Khadijah terlalu besar. Bahkan setelah kepergiannya pun, Nabi Muhammad SAW tidak bisa melupakan dan mengalihkan cintanya pada yang lain.
Diriwayatkan ada seorang sahabat bernama Khaulah yang bertanya kepada Nabi saw, “wahai Rasulullah, setelah Khadijah wafat, kulihat engkau senantiasa resah?”. Nabi Muhammad saw menjawab, “Ya benar. Khadijah adalah ibu semua keluarga. Selama ia hidup, aku tidak pernah menikah dengan perempuan lain, dan tidak ada istri yang kucintai selain dia.”
Dengan cinta yang demikian besar, tentu kita berpikir hal apa kiranya yang membuat Allah swt memberikan “penghiburan” berupa perjalanan spiritual? Kita ketahui bersama bahwa di dalam peristiwa ini, hal yang paling masyhur adalah turunnya perintah Sholat yang kemudian dilakukan sebagai ibadah wajib umat Islam dengan segala detail tuntunannya.
Sejatinya peristiwa Isra Miraj ini adalah teladan, bahwa segala hal yang kita cintai di dunia adalah fana. Kita lihat, sedalam apapun Rasulullah saw mencintai Hadhrat Khadijah hingga mengakui keunggulannya sebagai istri yang menemaninya dalam berjuang di tahun-tahun kenabian, tapi kehendak Allah tetap tak tertolak.
Allah menunjukkan kuasa-Nya. Di tengah duka atas kehilangan seorang istri, Allah turunkan perintah sholat sebagai penggambaran mutlak tujuan penciptaan seorang hamba di dunia.
Sekuat apapun Rasulullah saw menggenggam Khadijah, Allah Maha Berkehendak seolah menegaskan bahwa hanya kepada Allah sajalah semua cinta seharusnya bermuara. Perintah Sholat turun dengan hakikat bahwa hidup, mati dan ibadah seseorang, hanya untuk Allah swt.
Peristiwa Isara Miraj pada dasarnya adalah sebuah pelajaran mendalam, sebuah renungan untuk mengevaluasi diri, sejauh mana kita telah taat dan tunduk sebagai seorang hamba Tuhan Yang Maha Esa.
Ikrar tauhid yang diucapkan seorang Islam, seharusnya disertai juga dengan pembebasannya dari penghambaan kepada manusia lain. Hal inilah yang membuat manusia akan bernilai mulia seutuhnya.
Tafsir Adil tentang Perempuan Penghuni Neraka
Peristiwa Isra Miraj ini demikian luar biasa, manakala kita merenungkan bahwa di dalam sholat pun Allah swt memberikan pesan kesetaraan untuk perempuan. Bukan dalam konteks “memimpin” ibadah, melainkan dalam memberikan tafsir yang adil terhadap “perempuan penghuni neraka.”
Dalam peringatan Isra Miraj secara umum, penegasan relasi seorang istri yang menghamba kepada suami terus digaungkan tanpa celah. Seolah mutlak, semua kebenaran dan keagungan menjadi berpindah ke hadapan suami atau laki-laki.
Padahal, pesan Isra Miraj adalah universal. Artinya, perempuan juga termasuk ke dalam golongan yang harus menyadari Seberapa jauh ketundukannya untuk tidak menyekutukan kepada makhluk lain dan hanya tunduk kepada Allah.
Sangat perlu adanya penafsiran yang lebih ramah dan juga adil terkait “perempuan penghuni neraka.” Jika dalam kisah Isra Mi’raj digambarkan 4 golongan perempuan yang masuk neraka yaitu karena mengumbar aib (ghibah), tidak bersyukur atas kebaikan suami (pasangan), berzina, dan ikhtilat, maka bukankah hal yang sama juga mungkin dilakukan oleh laki-laki?
Golongan perempuan penghuni neraka adalah penggambaran sifat buruk yang melekat pada perempuan tersebut, terlepas dari statusnya sebagai istri atau ibu. Penilaian buruk terhadap perempuan inilah yang belakangan kerap dijadikan alasan untuk menormalisasi relasi ketaatan kepada manusia (laki-laki).
Merunut kisah romantis Hadhrat Rasulullah saw dan Khadijah, seharusnya kita belajar tentang relasi positif dan saling mendukung yang dibangun oleh beliau berdua sebagai pasangan. Khadijah adalah contoh perempuan dengan segala kemandirian, kecerdasan, dan kebaikan yang ia miliki, sehingga Rasulullah saw pun mencintai Khadijah karena perasaan memiliki penopang atau pendukung dalam langkah perjuangannya sebagai Nabi Allah.
Maka bukan tidak mungkin perempuan yang independent tetap menjadi ahli surga. Kemandirian seorang perempuan tidak bisa dikatakan sebagai bentuk ketidakbersyukuran kepada suami. Padahal, ketergantungan kepada sesama manusia juga merupakan tuhan-tuhan kecil.
Tanpa adanya kesadaran kritis, sampai kapanpun kita tidak akan pernah memahami makna ketaatan serta kesetaraan yang seharusnya, sebanyak apapun kita memperingati Isra Miraj setiap tahunnya.
Penulis: Rahma Roshadi