“Orang yang mulia dari kalangan laki-laki banyak, namun yang mulia dari kalangan wanita hanyalah Maryam binti Imron dan Asiyah istri Fir’aun, dan keutamaan Aisyah atas semua wanita seperti keutamaan sari atas segala makanan.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Nama dan Nasab Beliau adalah Aisyah binti Abu Bakar ash-Shiddiq bin Abu Quhafah bin ‘Amir bin ‘Amr bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay. Ibunda beliau bernama Ummu Rumman binti ‘Umair bin ‘Amir bin Dahman bin Harist bin Ghanam bin Malik bin Kinanah.
Beliau lah ummul mukminin, kekasih kesayangan Rasulullah saw yang kerap menjadi sumber rujukan hadis dan pengetahuan fikih Islam. Sebagai warisan pengetahuan Islam, tidak kurang dari 2 ribu hadis telah diriwayatkan oleh Hadhrat Aisyah ra (dalam sebuah sumber disebutkan 2.210)
Abu Musa Al-Asy’ari menyatakan, “Tidaklah kami para sahabat Muhammad saw bingung dalam suatu hadis, niscaya kami bertanya kepada Aisyah, dan pasti kami dapati pengetahuan padanya tentang hal itu.”
“Aku tidak pernah melihat perempuan yang lebih cerdas dalam bidang kedokteran, fiqih, dan syair selain Sayyidah Aisyah ra,” ujar Urwah bin Zubair.
Hadhrat Aisyah ra pernah menyampaikan kritikannya kepada Abu Hurairah ketika meriwayatkan hadis, “Seorang perempuan masuk neraka karena ia membiarkan kucing betina kecil kehausan.” Ketika mendengar riwayat itu, Aisyah berkomentar pada Abu Hurairah: “Apakah benar bahwa Allah akan menghukum seseorang karena seekor kucing? Wahai Abu Hurairah, lain kali jika meriwayatkan hadis Nabi, berhati-hatilah.”
Cantik, Cerdas dan Tegas
Hadhrat Aisyah ra, masih berusia muda ketika dinikahi oleh Rasulullah saw. Namun demikian, beliau memiliki kecerdasan dan daya kritis yang kuat dalam menghadapi dan mengurai masalah pada masanya.
Paras cantik dengan pipi kemerahan membuat beliau ra mendapat julukan Al-Humaira. Bukan hanya cantik, tapi kesuciannya dibela dari langit ketujuh.
Beliau ialah Shiddiqah binti Shiddiqul Akbar, istri tercinta Nabi Muhammad saw. Terbukti saat tuduhan zina dilontarkan orang-orang munafik untuk menjatuhkan martabat Nabi, tumbang dengan turunnya 16 ayat secara berurutan.
Allah SWT mempersaksikan kesucian Aisyah dan menjanjikannya dengan ampunan dan rezeki yang baik. Ketawadhu’annya (kerendahan hatinya), Aisyah mengatakan, “Sesungguhnya perkara yang menimpaku atas diriku itu lebih hina bila sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentangku melalui wahyu yang akan senantiasa dibaca.” (HR. Bukhari).
Cantik, cerdas dan juga tegas. Demikianlah gambaran kesempurnaan istri tersayang Baginda Nabi Muhammad saw. Sosok tegar dan tidak pengecut ini pernah turun ke medan perang.
Ketika pasukan umat muslim kocar-kacir saat perang Uhud, Hadhrat Aisyah turun ke medan perang untuk menolong para pejuang dan memberi mereka minum. Pada perang Khandaq, Hadhrat Aisyah juga keluar dari benteng untuk melindungi Nabi saw.
Contoh Emansipasi Perempuan
Dunia belakangan kerap mengggaungkan emansipasi perempuan dengan sangat keras. Hadhrat Aisyah ra adalah contoh yang tepat mengenai hal ini. Nabi saw telah memberikan posisi yang penting dan layak kepada perempuan, sekaligus diwujudkan melalui teladan sebagai perempuan pemimpin yang tegas dan cerdas.
Hadhrat Aisyah ra wafat pada 17 Ramadhan 58 Hijriyah. Tepat setelah beliau selesai melaksanakan shalat witir. Makamnya berada di pekuburan Baqi’. Shalat jenazahnya diimami oleh Abu Hurairah dan Marwan bin Hakam yang saat itu adalah Gubernur Madinah.
Itulah sosok Ummul Mukminin, yang kehadirannya untuk Rasulullah saw dikabarkan langsung melalui malaikat Jibril. Dalam sebuah hadis Rasulullah saw bersabda, “Dulu kamu diperlihatkan kepadaku selama tiga malam dalam mimpiku. Seorang malaikat datang membawamu kepadaku dengan beragam sutera. Malaikat itu berkata, “Hai Muhammad, inilah isterimu!” Kemudian aku buka cadar wajahmu dan ternyata itu adalah kamu. Maka aku katakan: “Jika mimpi ini berasal dari Allah, niscaya Dia pasti akan merealisasikannya.” (Muttafaq Alaih). Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa ia adalah istri Rasulullah saw baik di dunia maupun di akhirat (Tirmidzi).
Referensi:
Jala’ Al-Afham fi Fadhl Ash-Shalah wa As-Salaam ‘ala Muhammad Khair Al-Anam. Cetakan kedua, Tahun 1431 H. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. Hlm. 297-300.