Official Website Organisasi Perempuan Muslim Ahmadiyah

Shafiyah binti Huyay ra – Keturunan para Nabi dan Berhati Mulia

Shafiyah

Beliau berasal dari Bani Nadhir. Shafiyah adalah putri Huyay bin Akhthab, pemimpin suku Yahudi Khaibar, salah satu Bani Israel yang bermukim disekitar Madinah.

Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab bin Sa’yah bin Amir bin Ubaid bin Kaab bin al-Khazraj bin Habib bin Nadhir bin al-Kham bin Yakhurn, termasuk keturunan Harun bin Imran bin Qahits bin Lawi bin Israel bin Ishaq bin Ibrahim.

Sejak masih muda, Shafiyah sudah gemar akan ilmu pengetahuan. Ia banyak mempelajari tentang sejarah Yahudi hingga menemukan fakta dalam kitab Taurat bahwa kelak akan datang seseorang nabi penyempurna agama samawi yang datang dari jazirah Arab.

Ayahnya mengetahui bahwa Muhammad saw adalah nabi yang dimaksud. Namun, ia menyembunyikan fakta ini dari Shafiyah. Kebencian Huyay bin Akhtab dan kaumnya terhadap Rasulullah dibuktikan dengan diingkarinya perjanjian Hudaibiyah serta menghasut kaum Quraisy untuk menyerang kaum muslimin.

Huyay terbunuh di pertempuran ini, hingga Shafiyah hidup sebatang kara. Rasulullah kemudian memberikan pilihan kepada Shafiyyah, apakah ia ingin dimerdekakan dan dikembalikan kepada kaumnya, atau ingin masuk Islam kemudian dinikahkan oleh Rasulullah.

Dengan tegas Shafiyyah menjawab, “Ya Rasulullah, aku telah menyukai Islam dan membenarkanmu sebelum engkau mendakwahiku. Aku tidak meyakini agama Yahudi. Orangtua dan saudara-saudaraku pun telah tiada. Allah dan Rasul-Nya lebih aku sukai dari pada dibebaskan untuk kembali pada kaumku.”

Menurut Al-Hafizh Abu Nu’aim, Shafiyyah dikenal sebagai orang yang bertakwa, bersih, dan matanya selalu basah karena menangis. Ibnu Katsir juga turut menuturkan bahwa Shafiyyah adalah seseorang yang sangat menonjol dalam ibadah, kezuhudan, kebaikan, dan shadaqah. Ia juga merupakan istri dari Rasulullah yang sangat tulus dan penuh kejujuran. Selepas kepergian Rasulullah, ia semakin menunjukkan ketakwaan kepada Allah SWT hingga ajal menjemputnya.

Dalam paparan singkat mengenai keteladanan Shafiyyah binti Huya dapat diambil hikmah bahwa menjadi muslimah sejatinya ialah menjadi pembelajar yang baik. Terus menggali ilmu pengetahuan dan menyeimbangkan dengan amalan akhirat merupakan sebuah pencapaian yang sangat bernilai tanpa perlu menyombongkan diri.

Jika Shafiyyah yang pada masanya dapat dipuji sebagai wanita yang sangat cerdas oleh Ibnu Al-Atsir dan An-Nawawi, pada era globalisasi sekarang ini, di mana arus informasi sangat mudah diterima, sudah seharusnya kita sebagai muslimah dapat lebih memperkaya diri dengan ilmu pengetahuan yang didapat dan terus mengupgrade diri dari segi keimanan dan ketakwaan.

LI Indonesia Update