Official Website Organisasi Perempuan Muslim Ahmadiyah

Hadhrat Khansa’ ra – Perempuan Penyair Pertama, Ibu Para Syuhada

Khansa

Al-Khansa binti Amru merupakan seorang perempuan saleha yang berparas cantik dan sangat fasih dalam berkata-kata. Kemampuannya dalam merangkai kata-kata menjadi sebait syair sangatlah mengagumkan.

Karena kepandaiannya itu, muslimah yang bernama lengkap Tumadhar binti ‘Amr bin Syuraid bin ‘Ushayyah As-Sulamiyah, dinobatkan sebagi perempuan Arab pertama yang pandai bersyair. (Imam Ibnu Qutaibah, al-Syi’r wa al-Syu’arâ’, Kairo: Dar al-Ma’arif, juz 1, h. 343).

Khansâ lahir di Najd dari keluarga kaya di zaman jahiliyah yang kemudian memeluk Islam. Khansâ dipandang sebagai salah satu penyair perempuan terbaik di eranya.

Di masa jahiliyah, peran penyair perempuan kebanyakan hanya menggubah syair-syair ratapan (elegi, sajak sedih) untuk orang yang telah meninggal dan menampilkannya sebagai perwakilan suku tertentu dalam kompetisi publik.

Khansâ memenangkan kompetisi tersebut dengan puisi eleginya tentang dua saudaranya yang mati dalam perang suku, Shakr dan Muawiyah. Setelah itu, popularitasnya melambung tinggi karena puisinya begitu menyedak hati.

Dengan karya-karyanya, Khansâ berhasil mengangkat syair-syair ritsa (elegi) ke level qarîdl, yaitu jenis puisi yang dipandang tinggi statusnya oleh orang Arab ketika itu. Ia menggubah puisi-puisinya menggunakan bentuk matra dan rima, tidak lagi menggunakan saj atau rajaz yang biasa dipakai dalam puisi-puisi ritsa. (Julie Scott Meisami dan Paul Starkey (ed.), Encyclopedia of Arabic Literature vol II, London: Routledge, 1999, h. 435).

Meski seroang wanita, Khansâ sangat dihormati oleh sastrawan Arab lainnya. Al-Nâbighah al-Dzubyânî, seorang penyair dari Bani Dhubyan yang hidup sekitar 535-604, pernah memuji al-Khansâ’ dengan mengatakan:

“Demi Allah, jikalau Abu Bashir (al-A’syâ) tidak membacakan puisinya padaku lebih dulu, akan kukatakan bahwa kau penyair terhebat dari jin dan manusia.” (Imam Ibnu Qutaibah, al-Syi’r wa al-Syu’arâ’, juz 1, h. 344)

Abu Bashir al-A’sya yang dimaksud Nabighah adalah Maimun bin Qais al-A’sya (570-625/629 M), salah satu penyair terakhir pra-Islam. Ia disebut al-A’sya karena pengelihatannya yang lemah.

Menurut salah satu riwayat, Khansa’ memeluk Islam bersama kaumnya, Bani Sulaim. Abu ‘Amr mengatakan:

“Khansa’ mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam bersama kaumnya, Bani Sulaim, kemudian ia memeluk Islam bersama mereka.” (Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani, al-Ishâbah fî Tamyîz al-Shahâbah, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, juz 8, h. 66)

Dikisahkan, bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam meminta Khansa’ untuk membacakan sebuah syair, dan beliau pun kagum pada syair yang dibacakannya (yastansyiduhâ wa ya’jabuhu syi’rahâ). (Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani, al-Ishâbah fî Tamyîz al-Shahâbah, juz 8, h. 66).

Ibunda Para Syuhada

Khansa menikah dengan Rawahah bin Abdul Azis As-Sulami. Dari pernikahan itu ia mendapatkan empat orang anak laki-laki. Melalui pembinaan dan pendidikan tangannya yang dingin, keempat anak lelakinya ini tumbuh menjadi pahlawan-pahlawan Islam yang terkenal.

Setelah memeluk Islam, tema dan isi dari syair-syair ratapan yang telah membawanya ke puncak popularitas berubah.

Pada saat itu terjadi perang dan sebelum peperangan dimulai, terjadilah perdebatan sengit di rumah Khansa. Di antara keempat putranya saling berebut kesempatan mengenai siapakah yang akan ikut berperang melawan tentara Persia, dan siapakah yang harus tinggal di rumah bersama ibunda mereka.

Keempatnya saling menunjuk yang lain untuk tinggal di rumah. Masing-masing ingin turut berjuang melawan musuh-musuh Allah. Rupanya perdebatan mereka itu terdengar oleh Khansa.

Maka Khansa mengumpulkan keempat anaknya dan berkata, “Wahai anak-anakku, sesungguhnya kalian memeluk agama ini tanpa paksaan. Kalian telah berhijrah dengan kehendak sendiri. Demi Allah, yang tiada Tuhan selain dia, sesungguhnya kalian ini putra-putra dari seorang lelaki dan seorang perempuan yang sama. Tidak pantas bagiku untuk mengkhianati ayahmu, atau membuat malu pamanmu, atau mencoreng arang di kening keluargamu.”

Khansa berhenti sebentar, kemudian melanjutkan, “Jika kalian telah melihat perang, singsingkanlah lengan baju dan berangkatlah. Majulah paling depan, niscaya kalian akan mendapatkan pahala di akhirat, negeri keabadian. Sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Inilah kebenaran sejati, maka berperanglah dan bertempurlah sampai mati. Wahai anakku, carilah maut niscaya kalian dianugerahi hidup.”

Ketika ia mendengar empat orang anaknya, Yazid, Muawiyah, ‘Amr dan Amrah terbunuh dalam Perang Qadisiyyah (636 M) di masa Khalifah Umar bin Khattab, ia berujar:

“Segala puji milik Allah yang memuliakanku dengan kematian mereka. Aku hanya berharap Tuhanku akan menyatukanku dengan mereka dalam naungan rahmat-Nya.” (Muhammad Rakan al-Dughmi, al-Tajassus wa Ahkâmuhu fi al-Syari’ah al-Islamiyyah, Kairo: Dar al-Salam, 1985, h. 193).

Hadhrat Khansâ ra wafat pada tahun 24 Hijriah (645 M) di usia sekitar 70/71 tahun.

LI Indonesia Update